“Makanya jangan gampang baper!” celetukmu sambil cengengesan, wajahmu santai seperti biasa. Di tengah obrolan hangat bersama beberapa teman, kamu menanggapi cerita-cerita random dengan lepas, seolah tak ada beban yang mengganggu.
Suara tawa dan canda mengisi ruangan, percakapan kalian mengalir begitu seru. Sedangkan aku? Sedari tadi hanya duduk diam, sesekali mengangguk-angguk kecil, menyimak tanpa banyak bicara.
Kalian semakin heboh membahas soal perasaan, sesuatu yang selalu rumit tapi juga menarik. Aku yang tadinya cuma diam akhirnya ikut nimbrung, “Memangnya kita beneran bisa mengendalikan perasaan ya? Bagaimana kalau tiba-tiba kamu ketemu seseorang, tanpa aba-aba, dan tiba-tiba hatimu jatuh, terkesima saat melihat dia? Padahal dia cuma diam, nggak ngapa-ngapain.”
Aku menatap satu per satu teman yang hadir dengan penasaran, “Kalian pernah ngalamin hal kayak gitu?”
Salah satu dari mereka tersenyum, “Gak pernah sih, tapi seandainya aja tiba-tiba kejadian seperti itu, kayaknya wajar banget, ya?”
Kamu mengangguk pelan dan mulai menjelaskan dengan suara tenang, “Gini loh, sebenarnya, mengendalikan perasaan itu bukan tentang memaksakan diri buat gak ngerasain apa-apa. Tapi lebih ke bagaimana kita bisa ngatur respon kita, menetapkan batas supaya kita nggak sampai hilang arah atau bikin keputusan yang nantinya disesali, nggak melakukan hal yang bertentangan dengan nilai-nilai yang kita pegang, aturan agama misalnya.”
Aku mengerutkan dahi, “Kalau perasaan itu datang tanpa diduga, gimana caranya kita bisa sadar dan pasang batas? Kadang kita baru sadar kalau udah kebablasan.”
Kamu mengangkat bahu, “Itu memang sulit. Tapi yang namanya perasaan itu natural. Yang penting, setelah sadar, kita harus bisa ambil langkah bijak. Jangan sampai perasaan yang datang tiba-tiba itu yang mengatur kita, sebaliknya, kita yang harus bisa mengendalikan perasaan itu.”
Seorang teman lain menimpali, “Iya, misalnya kamu lagi jatuh cinta, tapi sadar kalau nggak perlu buru-buru membuat keputusan atau ngebayangin masa depan yang belum jelas. Santai aja dulu, kasih waktu untuk saling mengenal.”
Aku tersenyum kecil, merasa mendapat pelajaran penting malam itu. “Jadi, intinya, bukan berarti kita harus menahan atau mengabaikan perasaan. Tapi kita harus bisa mengenali dan memahami perasaan itu, lalu mengelolanya dengan bijak supaya nggak sampai menyakiti diri sendiri atau orang lain.”
Kamu mengangguk setuju, “Bener banget. Perasaan boleh datang dan pergi, tapi kita yang pegang kendali atas diri sendiri.”
Suasana menjadi hening sesaat, lalu tawa dan obrolan kembali mengalir. Aku merasa, malam itu aku belajar sesuatu yang berharga, bahwa untuk bisa hidup dengan tenang, kita harus paham kapan harus membuka hati dan kapan harus menjaga jarak, bukan untuk membuat diri kita jadi dingin atau tertutup, tapi supaya kita tetap kuat dan bijak dalam menghadapi segala perasaan yang datang.