Sabtu, 24 Oktober 2015

Pulang

Panciro, 13 Oktober 2015

Sabarlah, rumah sudah dekat.

Sepanjang perjalanan, aku terus mengingat-ingat percakapan terakhir kami dan pesan-pesannya.  "Sering-seringlah datang ke sini" pintahnya sambil mengusap air di sudut matanya.

Sabarlah, rumah sudah dekat. 

Aku semakin gusar. Perjalanan pulang kali ini tampak lebih panjang.

Sabarlah, rumah sudah dekat. 

Matahari hampir terbenam. Aku berjalan lebih cepat. Beberapa orang berjalan beriringan menuju arah yang sama denganku. 

Bendera putih terpasang tepat di depan rumah. Maaf, aku datang terlambat.

Lelaki yang tak asing menyambutku di pintu masuk, tanpa berkata-kata ia langsung merangkul dan menepuk-nepuk bahuku.  Aku hanya diam  kemudian berlalu masuk ke rumah.

Rumah sudah penuh sesak dengan orang-orang terdekat hingga yang tidak kukenali sama sekali. Isak tangis dari mereka tak lantas membuatku ikut menangis. Rasanya aku sudah kebal dengan kehilangan.
This entry was posted in

Sabtu, 15 Agustus 2015

Kepada Lelaki Menyebalkan


Tidak ada yang spesial dengan tempat ini hingga aku menyadari bahwa sejak awal, bermula dari sini, aku diam-diam mengagumi apa pun tentangmu. Meskipun kamu lebih sering bertingkah menyebalkan dibanding bersikap manis. Tetap saja selalu ada hal 'aneh' yang bisa membuatku mengagumimu.

Kamu lihat awan itu? Bentuknya unik, mirip hati. Dan baru hari ini aku menyadarinya, sama seperti hatiku yang baru kusadari sudah jatuh untukmu sejak awal.

Setelah mengecek tanggal gambar ini kuambil, itu tepat bulan ke 13 setelah pertemuan pertama kita. Dan Agustus ini sudah tepat bulan ke 29. Sudah lama sekali, tapi kenapa baru sekarang menyadarinya?



Rumah, Lewat tengah malam.

Sudah sangat larut tapi masih sulit terlelap. Akhirnya berimajinasi sebelum tidur. Jaga kesehatan ya, hatinya juga. ^^

Senin, 27 Juli 2015

Menikah itu Rumit

Menikah itu rumit. Mencari dan menunggu saja, butuh waktu yang tidak sebentar. Setelah menemukan, kamu perlu berjuang untuknya. Kemudian, kamu harus bisa meyakinkan keluargamu dan keluarganya bahwa kalian cukup pantas bersama.

Faktor agama, fisik, nasab, dan harta tidak serta merta bisa dipertimbangkan dan difilter dengan mudah. Mungkin kamu sudah terlanjur jatuh hati, tapi restu keluargamu tetap akan menjadi pertimbangan yang paling penting.

Biar bagaimana pun, kita tidak bisa memaksakan kehendak. Rasa suka dan cinta tak pernah bisa kita kendalikan, tapi kita harus siap berbesar hati menerima risiko dan melepaskan jika saja takdir berkata lain.

~Teruntuk kita yang masih menunggu dan mencari. Berdo'alah semoga bisa segera menggenap dan melalui kerumitan dengan bijak.~

Selasa, 14 Juli 2015

20.15


Seharusnya rumah menjadi tempat pulang ternyaman. Seharusnya  keluarga adalah orang terdekat yang paling bisa memahami sakit dan sepi kita setelah ditinggal orang yang paling berharga. Tapi semua bisa jadi sangat tidak nyaman dan merasa seperti orang asing karena ego dan amarah. 

Lalu jika tidak ada yang mau memahami dan mengalah, kemana lagi kami hendak  pulang dan mengadu? 

Rabb, tentramkan dan beri kami hati yang lapang. Hilangkan prasangka dan kebencian yang membakar habis kebaikan.

Minggu, 14 Juni 2015

Lelaki dan Kekhawatirannya


Sebagai anak perempuan, tentu banyak yang tidak kupahami dari kaum lelaki. Tapi, dari seorang lelaki luar biasa (I call him 'Etta'),  saya bisa belajar memahami bahwa pada dasarnya laki-laki akan melakukan apa pun untuk melindungi dan memberikan yang terbaik untuk perempuan, terutama anaknya. 

Laki-laki jika sudah menjadi ayah akan menjadi sangat egois dan tidak akan pernah ridho jika anak perempuannya disentuh oleh laki-laki (karena sebelum ada yang berani datang melamar anaknya, hanya dia lelaki yang bisa dipercaya). Bagi seorang ayah, selalu ada hal sepele yang bisa membuatnya mengkhawatirkan anak perempuan yang disayanginya melebihi kekhawatirannya terhadap diri sendiri. Dan terkadang kekhawatirannya tersebut bisa membuatku menyadari betapa berharganya seorang perempuan. 

Dia bisa sangat marah hanya karena melihat anaknya berpakaian tidak pantas di depan umum. Sangat tidak suka kalau anaknya berduaan dengan seseorang yang bukan mahram. Atau bahkan sangat jengkel karena melihat anaknya memosting foto selfie sesuka hati di media sosial.Tapi dari banyak lelaki, hanya sedikit yang bisa mengkhawatirkan hal sesepele itu. Karena nyatanya, cuma sedikit lelaki yang paham bagaimana menjaga dan menghormati wanita yang disayanginya.

Tahun lalu menjelang idul fitri, saya membeli baju gamis dengan payet karet pada bagian pinggang sehingga ukurannya terlihat kecil. Malamnya, Ettaku memanggilku, "Ini bajumu? Kenapa ukurannya kecil sekali?" Tanyanya dengan ekspresi tidak suka sambil memperlihatkan baju yang kubeli.

"Iya, itu bajuku. Pastilah kecil, kan badanku juga kecil." Aku merespon seolah semua baik-baik saja.

"Masa kecil begini? Ini pasti ketat. Coba dipakai!" Nada suaranya terdengar khawatir. Dia  sama sekali tidak yakin kalau baju itu cocok untukku.

Saya mengambil baju yang disodorkannya lalu memakainya.
"Ini cocok kan? Pas dengan ukuranku." Kataku santai sambil memperlihatkan bajuku yang sudah terpasang rapih.

Alisnya mengernyit, masih tidak senang melihatku memakai baju dengan ukuran yang menurutnya ketat karena berpayet pada bagian pinggangnya.

Besoknya mama melihatku mengenakan baju yang sama, lalu berkomentar, "Bajunya bagus, cocok karena tertutupi jilbab panjangmu. Etta pikir ketat karena belum lihat jilbabmu."

Sebelum sempat merespon, mama lanjut bercerita, "Dari semalam bajumu terus yang dipusingi Etta. Katanya ketat dan kekecilan. Malah dia heran dan tidak percaya kalau kamu sendiri yang mau beli baju itu." Lapor mama dengan antusias.

Aku hanya bergumam mendengar cerita mama.

Selain itu, Mama juga pernah mengadukan kekhawatiran Etta tentang foto di sosial media. "itu Ettamu kayak orang kebakaran jenggot gara-gara lihat fotonya adekmu di facebook, katanya bergaya sekali pamer-pamer foto. Tapi kenapa Ettamu melapor ke saya?  Atau maksudnya mungkin supaya saya saja yang kasih tahu adekmu untuk tidak pasang fotonya? Seharusnya dia saja yang langsung menegur."

Saya hanya menggelengkan kepala mendengar aduan mama.

Meski masih suka ngeyel dan bandel kalau dinasehati, saya tetap dan akan selalu bersyukur  punya orang tua yang super protektif, terutama dalam persoalan menjaga iffah dan kehormatan anaknya sebagai wanita. Karena mereka paham bahwa anak perempuan sangatlah berharga dan harus dijaga dengan baik.


Minggu, 10 Mei 2015

Memintamu PadaNya

Dalam kesyukuran yang penuh suka ci(n)ta, padaNya aku memintamu dengan sipu merona.

Sekeras apa pun hatimu, aku pantang menyerah sebelum mendapati penerimaanmu.

Tersebab bagiku, dengan lebih atau pun kurangmu, jiwamu akan sempurna melengkapiku.



~Terkena sindrom melankolis (lagi) >,< ~

Kamis, 30 April 2015

Do'a Hujan

"Kak, perjuangan kita hari ini betul-betul berat ya. Sampai harus hujan-hujanan seperti ini." Katanya sambil berusaha mengeratkan genggaman tangan kanannya pada gagang payung  yang hampir diterbangkan angin.

"Iya berat, sangat berat. Untuk mencari kebaikan memang tidak ada yang mudah 'kan?" Balasku sambil berjinjit menghindari genangan air sebatas mata kaki.

"Betul kak, mencari kebaikan itu nggak semudah yang kita bayangkan. Selalu saja ada rintangannya. Termasuk dengan hujan-hujanan seperti ini."

"Meski hujan, tetap saja saya paling suka dengan saat seperti ini. Sebab hujan salah satu momen paling romantis untuk berdo'a."

"Kalau begitu, do'a kakak apa?" Tanyanya antusias.

"Semoga hujannya membawa banyak berkah dan semoga hati kita berdua dijauhkan dari keluh kesah agar kebaikan-kebaikan yang ada tidak hilang begitu saja."

"Aamiin" dia merespon dengan khusyuk sembari mengelap sepatu dan roknya yang terkena cipratan lumpur.

"Kalau kamu, do'anya apa?"

"Semoga kakakku yang manis ini segera dipertemukan dengan seseorang yang baik hati." Jawabnya dengan senyum manis.

"Do'anya sudah dikabulkan tuh, kan saya sudah ketemu sama kamu."

"Ih kakak, maksudnya seseorang yang akan melengkapi separuh agama,  jodoh gitu."

"Ooh itu toh. Ini lagi nungguin dia kok. Semoga dia bawa payung, 'kan kasihan kalau kelamaan menunggu gara-gara dia terjebak hujan." Balasku dengan gurauan.

~Do'a melangit dan tawa kami, hanyut bersama tetes hujan yang kian menderas.