Jumat, 19 September 2014

Dia-lo-gue: Killing (Ti)me

Menjelang siang, di koridor belakang ruang perawatan, duduk manis sambil ngunyah apel.

Mr: Perawat ya?
Me: Bukan pak
Mr: Kerja di sini?
Me: Tidak, saya keluarga pasien.
Mr: Ooh, namanya siapa?
Me: Athifah
Mr: Athifah...Namanya cantik, kayak orangnya.
Me: *nyengir sambil ngunyah apel
Mr: Kuliah di mana?
Me: kuliah di FKM UNHAS, pak. Jurusan Manajemen Rumah Sakit.
Mr: Wah hebat dong. Sudah semester berapa?
Me: Saya sudah lulus.
Mr: Oh sudah wisuda ya? Berarti sudah sarjana.
Me: Iya sudah, wisudanya bulan 6 kemarin.
Mr: pasti wisudanya sama 'teman dekat' kan?
Me: wisudanya sama teman dekat? Saya punya banyak teman dekat. *pura-pura bego.
Mr: Maksudnya teman dekat yang spesial.
Me: oooh, kalau teman spesial, saya tidak punya *nyengir kalem sambil lanjutin ngunyah apel.
Mr: Biasanya orang yang punya teman spesial tapi bilangnya tidak ada, nanti ditinggalin karena perempuan lain loh.
Me: Tapi kalau memang tidak punya, tetap harus bilang tidak ada 'kan? *tragis nian kenyataan ini.
Mr: *lanjutin cerita tentang perempuan yang ditinggalin gara-gara tidak mau mengaku punya teman spesial
Me: Tapi saya memang tidak punya teman spesial! *dalam hati mulai sewot! Memangnya saya tampang tukang tipu ya? Ckck
Mr: Lahir tahun berapa?
Me: Tahun 93, pak.
Mr: Wisuda tahun ini kan? Tahun 2014? Berarti 21 tahun sudah sarjana? Sarjana kesehatan kan?
Me: iya pak lulus tahun 2014, sarjana kesehatan masyarakat.
Mr: sama dong dengan keluarga saya (sebutin seseorang). Dia juga sarjana kesehatan masyarakat. Tapi dia sudah lama lulus dan sekarang kerjanya di kementerian kesehatan.
Me: Wah bagus dong pak. Sudah dapat kerjaan, kalau saya masih pengangguran.
Mr: kalau sarjana kesehatan banyak dibutuhkan di desa-desa. Untuk peningkatan karir juga sebenarnya bagus kalau ambil penempatan di pelosok dulu, nanti setelah beberapa tahun baru minta pindah di tempat lain.
Me: Iya pak, bagus juga sih kerjanya di pelosok, lokasi-lokasi yang seperti itu biasanya butuh banyak lulusan kesehatan.
Mr: Tapi kalau perempuan kayak kamu kerjanya di desa, biasanya susah lagi pindah ke tempat lain.
Me: Kenapa pak?
Mr: kalau kerja di desa, kamu pasti dapatnya orang desa. Jadi harus menetap di sana.
Me: *please killing me, sir!*

Kamis, 11 September 2014

Hiduplah dalam Tulisan

Cepat atau lambat, dirimu akan pikun dengan apa-apa yang telah lewat. Untuk mengekang dan mengenang ingatanmu sendiri, hiduplah dalam tulisan yang sewaktu-waktu bisa membawamu kembali ke cerita yang pernah menguatkan hatimu.

Rabu, 10 September 2014

Album Foto

Saya ingat sekali foto-foto dalam album putih dan coklat yang terselip diantara buku-buku itu. Foto pernikahan orang tuaku dan foto masa kecilku. Waktu baru-baru pindah ke rumah ini, saya suka sekali membongkar-bongkar album foto. Dan menurutku itu adalah kebiasaan yang sangat menyenangkan. Bagian yang paling kusukai dari  melihat foto-foto adalah membayangkan dan mengingat momen saat foto itu diambil.

Hari ini, saya merasa penasaran untuk kembali membukanya. Foto-foto yang kulihat tetap sama, tapi ada hal berbeda yang kutangkap. Saya tidak hanya sebatas menikmati gambar-gambarnya tetapi juga bisa merasakan euforia kebahagiaan yang  dulunya tak pernah kusadari. Wajah gugup, senyum malu-malu, tawa lega, tangis haru, dan tatapan mata dengan binar bahagia. Kini aku paham, seperti inilah ekspresi sederhana dari cinta yang tidak sederhana.

Sabtu, 06 September 2014

#Monolog: Penolakan

Katanya, kau tak 'kan pernah memahami kegilaan seseorang yang jatuh cinta kepadamu jika kau 'tak mencintainya sama sekali. Itulah mengapa terkadang kau bisa menjadi orang paling jahat tanpa sadar. Dan bahkan menjadi sangat keterlaluan karena masih bisa tertawa di hadapan seseorang yang baru saja kau sakiti hatinya tanpa iba.

Senin, 01 September 2014

Mengalah

Hello wor(l)d... Curhat boleh 'kan? Hehe

Yeah, today is monday! Ini berarti sudah tepat sepekan saya berlagak seperti gadis pingitan. Di saat teman-teman sibuk bolak-balik kampus untuk mengurus ijazah dan berkas lamaran kerja, saya lebih asyik berdiam diri di rumah, istilah kerennya sih sedang menikmati masa transisi.

Nah, berhubung saya mulai gelisah dan merasa bosan berdiam diri, rencananya hari ini saya akan bersikap "normal". Sama seperti yang lainnya, berangkat ke kampus dengan semangat menggebu-gebu demi selembar kertas ajaib (baca: ijazah). Sayangnya, lagi-lagi saya harus mengalah dan memilih untuk tetap tinggal di rumah. 

Dulu ya, sebelum negara api menyerang, saya masih bisa keluyuran seenak hati. Tapi, seiring tanggung jawab sebagai anak manusia yang takut durhaka semakin meningkat, naluri bebas kelayapan  otomatis harus dijinakkan. 

Ah, tenanglah anak muda. Inilah masa-masa keemasan untuk belajar memprioritaskan orang lain!  Lagi pula, mementingkan dan memikirkan diri sendiri sama sekali bukan cara bertahan hidup yang membahagiakan 'kan?

Kelak kau akan tahu seberapa berharganya ketika seseorang rela mengorbankan kepentingan-kepentingan lainnya demi dirimu di saat kau betul-betul membutuhkannya. Maka, belajarlah mengalah untuk kebahagiaan orang lain.