Senin, 03 April 2023

Cahaya Kunang-Kunang #2



Setelah melihat kunang-kunang, Aya dan Alin berjalan pelan-pelan, meraka masih memperhatikan sekeliling, menengok ke kiri dan ke kanan, berharap masih ada kunang-kunang lain yang melintas di depan mereka. 

 

Mereka berdua juga menanyakan banyak hal tentang kunang-kunang kepada Nenek. Tak heran jika perjalanan dari sawah ke rumah yang biasanya bisa ditempuh selama lima menit dengan berjalan kaki, menjadi dua kali lipat lebih lama karena keasyikan bercerita tentang kunang-kunang.

 

Nenek mengangkat tangan kirinya lebih tinggi saat menyadari cahaya dari lampu minyak yang dibawanya lebih redup, “ternyata minyak tanahnya sudah  hampir habis.” Gumam Nenek.

 

Aya dan Alin juga mengedarkan pandangan ke arah lampu minyak yang di pegang Nenek, mereka serius memerhatikan cahaya lampu yang meredup. 

 

Syukur jalanan mulai terlihat lebih terang, beberapa rumah sudah tampak di sebelah kanan jalan. Rumah pertama adalah rumah Alin, berjarak sekitar 150 meter dari tempat mereka berdiri, rumah Nenek dan Aya berada tepat di sebelahnya.  

 

“Ayo kita berlomba lari! kita buktikan siapa yang bisa lebih cepat sampai di depan rumahku.” Tantang Alin penuh semangat.

 

Tanpa berpikir panjang, Aya langsung menerima tantangan Alin dengan berani, “siapa takut! Ayo kita mulai, satu… dua… tiga…”  

 

Aya dan Alin langsung berlari secepat mungkin. Mereka berkejaran sambil tertawa girang. Dua sejoli itu sama-sama mempunyai tekad yang kuat, tidak ada yang mau mengalah. 

 

Tak heran jika ada yang mengatakan bahwa teman adalah cerminan diri kita. Sebab nyatanya, seseorang akan cenderung memiliki karakter dan kebiasaan yang mirip dengan orang-orang terdekat yang biasa bersamanya. Begitu pun Aya dan Alin, mereka memiliki banyak kesamaan karena sudah lama berteman. Meski pun bukan saudara kandung, mereka seperti pinang di belah dua.

 

Nenek yang tertinggal di belakang hanya tertawa geli, “ada-ada saja kelakuan mereka berdua.” Batinnya sambil menggelengkan kepala melihat mereka berlari terbirit-birit. Nenek turut mempercepat langkah kakinya, tapi meski pun sudah berusaha, tetap saja ia tidak bisa menyamai kecepatan dua anak itu karena harus berjalan dengan menyeret tongkat kayunya.

 

Saat Nenek tiba di depan rumah Alin, pintu rumah masih belum terbuka. Alin dan Aya masih menunggu di depan rumah, meraka duduk nyaman di kursi kayu panjang di teras rumah sambil bernyanyi riang. 

 

“Kalian sudah mengetuk pintu?” Tanya Nenek kepada Aya dan Alin.

 

“Belum, Nek.” Jawab Aya dengan cepat.

 

“Kami menunggu Nenek.” Lanjut Alin menimpali.

 

Nenek bergegas memberi salam dan mengetuk pintu rumah Alin. 

 

Tak lama kemudian, Mama Alin membuka pintu, senyum mengembang di wajahnya saat melihat Nenek, Aya dan Alin. Setelah mengobrol beberapa saat, Nenek dan Aya langsung berpamitan untuk pulang. 

 

“Terimakasih Nenek sudah menjemput kami di sawah.” Ujar Alin sambil melambaikan tangan kanannya saat Nenek dan Aya beranjak pulang.

 

***

 

Sekitar setengah jam setelah tiba di rumah, Nenek dan Aya menikmati makan malam mereka. Aya makan dengan lahap. Setelah makanan di piringnya hampir habis, dia menambah lagi untuk kedua kalinya. Aya menyendok semua makanan yang dihidangkan Nenek ke piringnya, nasi putih, sayur bening, tahu, tempe dan ikan goreng. 

 

Sudah dua kali Aya menambah makanannya, sedangkan makanan Nenek di piring masih belum habis-habis juga. Gigi nenek sudah tidak lengkap, jadi butuh waktu yang lebih lama untuk mengunyah makanannya dengan baik. 

 

“Makan yang banyak, Nak. Tidak usah terburu-buru, makanannya dikunyah pelan-pelan supaya tidak tersedak.” Pesan Nenek saat melihat Aya menyuap makanannya dengan sangat lahap.

 

Aya tidak pernah memilih- milih makanan, dia selalu lahap dan menghabiskan apa pun yang dimasak oleh Nenek. Bagi Aya, masakan Nenek adalah makanan terlezat yang ada di dunia ini. 

 

“Makanannya sangat enaaak, apa pun yang Nenek masak, Aya sanggung menghabisi semuanya.” Puji Aya setelah makanan di piringnya habis tak tersisa. 

 

Mendengar pujian Aya, Nenek tersenyum sumringah memamerkan gigi ompongnya. Nenek mengunyah makanannya sampai habis dengan perasaan bahagia. 

 

Setelah makan malam dan bersih-bersih. Nenek dan Aya bersiap untuk tidur, mereka menggelar tikar di kamar, melapisinya dengan sarung dan meletakkan bantal di atasnya.  Mereka berbaring dan mengobrol panjang lebar tentang apa pun sebelum tidur. 

 

“Nek, kayaknya enak ya tinggal di rumah dinding bata seperti rumah Alin.” Celetuk Aya.

 

“Pasti rasanya lebih hangat kalau malam dan tidur pun bisa lebih nyenyak.” Sambungnya.

“Meski tidak sebagus rumah Alin, rumah kita juga nyaman. Masih bisa ditempati untuk berteduh dari hujan dan panas.” Nenek menanggapi dengan bijak.

 

“Iya juga ya Nek.” Aya mengangguk, setuju dengan ucapan Nenek.

 

“Coba kamu pikirkan, orang-orang di luar sana yang tidak punya rumah. Pasti mereka sangat kesulitan mencari tempat berteduh dan tidak bisa istirahat dengan nyaman.”

 

Aya menyimak cerita-cerita Nenek, ia jadi lebih bersyukur dengan apa pun yang dimilikinya. Bagaimana pun kondisi mereka, tentu jauh lebih baik dibandingkan dengan orang-orang yang tidak punya rumah.

 

Tiba-tiba, Aya teringat dengan kunang-kunang yang mereka temui tadi.

 

“Kalau kunang-kunang tinggalnya dimana ya, Nek? Apa mereka juga punya rumah?” Tanya Aya penasaran.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

0 comments:

Posting Komentar

Apa komentarmu? Silakan menuliskannya ^^ ...