Rabu, 20 Agustus 2025

Perempuan dan Luka


Aku duduk nyaman di kursiku dan fokus melihat layar laptop, memeriksa rekam medis elektronik dan menganalisis data untuk laporan mingguan, sementara dia sibuk dengan tumpukan dokumen di mejanya.

“Lama menunggu jauh lebih baik daripada menyesal belakangan.” katanya sambil memeriksa berkas.


Aku tersenyum dan mengangguk pelan, “Iya, aku paham.”


Dia tertawa pelan, tapi suara tawanya terasa agak hampa. “Lihat deh, aku masih bisa ketawa kan? Meski hatiku sudah hancur berkeping-keping.”


Aku tahu dia jauh lebih kuat dari yang terlihat.


“Kalau aku ada di posisimu, mungkin kondisiku jauh lebih kacau. Belum tentu aku bisa bertahan,” ucapku sambil menginput laporan.


"Nggak ada yang benar-benar bisa melupakan. Kita memaafkan dan memberikan kesempatan kedua. Tapi kecurigaan dan prasangka itu nggak pernah bisa hilang." Ucapnya dengan suara lebih tegar.


“Yaaah, impossible buat ngelupain." Lanjutku setuju.


Aku berhenti sejenak, menarik napas. "Doain ya, semoga aku bisa dapat partner yang bener-bener punya prinsip kuat, minimal takut sama Allah dulu, biar nggak gampang goyah sama hal-hal di luar nalar.”


Dia menoleh, “Mungkin kamu sudah bosan ya dengar ini, tapi aku cuma mau bilang... Sabar aja, nikmati apa yang kamu punya saat ini. Setelah nikah pun, ujiannya ada-ada aja.”


Aku mengangguk pelan, “Ya, memang. Tapi kadang, di usia kayak gini, pasti sudah mulai panik kan? Kadang mikir, apa masih ada yang mau? Apa beneran bakal ketemu jodohnya? Jangan-jangan nanti lebih duluan dijemput ajal lagi.”


Dia tersenyum samar, “Usia bukan ukuran, kok. Kamu cuma belum ketemu orang yang tepat. Kamu tahu, hidup nggak melulu soal siapa yang ada di samping kita, tapi soal bagaimana kualitas kita. Selama masih dalam ketaatan, tenang ajaaa!"


Aku terdiam sejenak, merenung. Dia benar. Kadang kita lupa bahwa bukan cuma pasangan yang menentukan bahagia kita. Kebahagiaan sejati datang dari dalam, dari cara kita menerima dan menghargai perjalanan hidup kita, meski belum berjalan sesuai rencana.


"Kadang aku mikir, mungkin aku terlalu memusingi hal yang belum terjadi, padahal yang lebih penting adalah apa yang aku miliki sekarang. Teman-teman, keluarga, dan kesempatan untuk tumbuh, untuk belajar lebih banyak."


Dia mengangguk, seolah mengerti apa yang aku rasakan. “Betul, kamu punya banyak hal yang luar biasa, nggak cuma yang kelihatan. Yang paling penting, tetap berproses. Jangan pernah ragu dengan dirimu sendiri.”


Kami terdiam sejenak, lalu kembali fokus pada pekerjaan masing-masing, sibuk dengan to-do list yang terus bertambah. Tapi kali ini rasanya lebih ringan.