Aku berjalan menelusuri koridor sekolah baruku
sambil celingak-celinguk memperhatikan papan nama tiap ruangan yang kulalui.
Setelah lama berkeliling akhirnya aku menemukan kelas yang ditujukan untukku. Kelas
XII IPA 4. Aku tak langsung masuk, sejenak aku terdiam di depan kelas. Aku mengatur
napasku dan berusaha menenangkan pikiran untuk
menghilangkan rasa gugupku.
Suasana
di kelas itu sangatlah gaduh. Tampaknya mereka keasyikan menertawakan aksi konyol salah satu siswa
yang sedang beraksi di depan kelas. Pikirku itu sejenis orasi. Sejenak siswa
sempat terdiam. Selang beberapa saat kemudian, mereka serentak tertawa, terdengar
beberapa siswa meneriakkan celetukan jail yang diiringi dengan hentakan pukulan
keras ke meja belajar sehingga terciptalah kegaduhan yang memekakkan telinga.
Setelah
suasana menjadi sedikit tenang, kuberanikan diriku untuk mengetuk pintu kelas
yang sama sekali tidak tertutup. “tok..
tok.. tok.. , permisi!!!” kurasa aksiku itu sudah cukup untuk membuat
perhatian seluruh penghuni kelas tertuju kepadaku.
“Silakan masuk!!!” Jawab seorang guru yang sedang mengajar di
kelas itu sambil berjalan ke arahku. Ia memperhatikanku dari ujung kaki hingga
ujung rambut dengan tatapan penuh tanya.
“Pa..pagi Bu!!!” ku jawab tatapannya
dengan sapaan yang terdengar canggung.
Ia
menanggapi sapaanku dengan mengangguk-anggukan kepalanya sambil memperbaiki
letak kacamata yang dipakainya. “Hmm..
pagi. Kamu murid pindahan dari Bogor ,bukan?!”..
“Oh.. iya Bu, betul!” jawabku lebih
ramah.
“Silakan masuk dan perkenalkan dirimu!!” ia
berbalik dan berjalan menuju mejanya. Aku mengikutinya dari belakang dengan
langkah cuek. Dalam keheningan terdengar bisikan-bisikan beberapa siswa yang
memberi komentar tentang diriku sehingga suasana kelas menjadi sedikit riuh.
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh!!!”
ucapan salamku membuat semua pandangan tertuju ke arahku.
Setelah
aku selesai, semuanya serentak menjawab salamku, “wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh!!!”
“Perkenalkan nama saya Kinan Faizah , saya
biasa disapa Kinan. Saya berasal dari SMA 17 Bogor. Saya pindah ke sini karena
ikut orangtua yang dipindahtugaskan.”
Setelah memperkenalkan diri aku
mengarahkan pandangan ke arah Ibu guru yang berdiri pada jarak tiga meter dariku.
Aku memberi anggukan kepadanya sebagai tanda bahwa cukup itu saja perkenalan
awal dariku.
Kurasa
ia mengerti akan maksudku. Ia langsung mengambil alih perhatian. “Kinan, kamu bisa duduk di samping Dafi.”
tawarannya kepadaku.
Aku
hanya memberikan respon berupa anggukan sebagai simbol persetujuanku. Tapi, itu
hanya di luar saja sebab hatiku tak bisa menerima tawaran itu sepenuhnya. Suka
atau tidak, aku harus menerimanya karena tidak ada pilihan untuk menolak, sebab
hanya itulah satu-satunya tempat yang kosong di ruangan itu.
“Hai… Kinan!!!”. Sapa Dafi.
“Hai!!!” jawabku dengan jutek. “Kenapa sih aku sekelas sama kamu dan harus
duduk bersebelahan denganmu!!!” umpatku dalam hati.
Dafi,
tetangga baruku. Orang yang pernah menyelipkan harapan indah dalam anganku.
Pernah menggoreskan kisah pilu di masa laluku. Sampai akhir hayatku aku tak akan
pernah bisa melupakan jasanya.
***
Pada
hari itu…
Aku
berada di puncak bersama tujuh teman-temanku. Kami berlibur di sana selama dua
minggu. Malam keempat kami di sana, seorang teman mengajakku ke taman. Tempat yang sangat indah.
Pemandangan malam di taman itu sangat menakjubkan. Langit kelam yang berhiaskan
bulan dan bintang-bintang tampak jauh lebih memikat.
Dalam
keheningan malam, kami berdua duduk bersebelahan di bangku taman dengan jarak
yang cukup jauh. Saling membisu, asyik dengan angan masing-masing. Setelah lama
terdiam, dia angkat bicara, “Ki, sudah
berapa banyak orang yang menyatakan cinta padamu?” tanyanya padaku seperti
ingin menginterogasiku. Pertanyaannya sungguh mengagetkanku. Aku menghela napas
sebelum menjawab. “Sudah lumayan banyak.
Aku tak tahu berapa jumlah pastinya. Hmm, mungkin sekitar 20 orang.”
Jawabku mantap.
“Aku sudah menduga. Yah… itu hal wajar bagi
seseorang yang sangat sempurna sepertimu”. Jawabnya sambil melirik ke
arahku. “Memang sih, sudah banyak yang
menyatakan namun tak satu pun kuterima.” Tambahku. “Kenapa bisa?” tanggapnya dengan nada heran. “ya.. karena aku tak ingin berpacaran.” Jawabku datar. Ia hanya
memberi respon berupa anggukan.
Suasana
hening sejenak. Lalu ia kembali melontarkan pertanyaan,“Bagaimana jika aku yang menyatakannya kepadamu?!” ia diam sejenak
untuk memberiku kesempatan menjawab .
“Tentu
jawabannya sama seperti sebelum-sebelumnya!!!” jawabku tanpa ragu sedikit
pun.
“Aku tak kecewa dengan jawabanmu.
Tapi, kau kan jadi yang pertama dan terakhir bagiku… semoga!!!” balasnya
dengan nada suara yang tegas.
Dia seperti mengekangku, aku tak suka dia berkata
seperti itu. “Itu sih terserah kamu!!!
Tapi, aku tak bisa menjamin!!! ”. Balasku ketus.
“Maaf jika perkataanku terdengar memaksakan kehendak. Tapi, itu aku
nyatakan bukan berarti aku ingin mengekangmu. Bagiku kau bisa memilih. Tak
mesti bersamaku.” Ia berusaha menanggapi dengan tenang.
Jujur
aku memang suka dengannya. Tapi aku tak bisa mencintai seseorang yang belum
jadi milikku secara resmi. Aku tak ingin membiarkan hatiku terbuai dengan keindahan
fatamorgana yang semu. Cintaku hanyalah untuk seseorang yang akan menjadi
pendamping hidupku kelak.
“Ki, hati-hati… Jangan sembarang menghayal!!!”
tegurnya padaku. “Siapa juga yang
menghayal sembarangan!?” elakku dengan nada kaget.
“Oh.. maaf kalau aku sembaramg menuduhmu.” Ia menanggapi dengan nada
bersalah.
“Berlama-lamaan di sini nggak enak juga yah!
Suhu udaranya sangat dingin. Bagaimana kalau kita kembali ke penginapan
masing-masing? ” tawarnya padaku. Aku hanya memberi tanggapan berupa anggukan.
Dalam
perjalanan pulang kami sama sekali tak bicara. Sungguh pernyataannya hampir
saja menggoyahkan tekadku untuk tidak berpacaran. Tapi aku tak mau harga diriku
jatuh. Aku tak ingin menjadi orang yang munafik.
Sejak
saat itu, ia terus berusaha meyakinkanku akan perasaannya kepadaku. Tapi tetap
saja aku tak goyah sama sekali. Namun penolakanku tak membuatnya patah arang,
bahkan ia semakin bertekad kuat untuk meluluhkan hatiku. Dan hal yang tak bisa
kupungkiri hingga saat ini ialah ia telah berhasil meluluhlantahkan hatiku. Tapi,
yang ia tahu cintanya padaku bertepuk sebelah tangan.
Seiring
dengan bergulirnya waktu, pikiranku semakin terbuai olehnya. Dan semakin keras
usahaku melenyapkannya dari anganku, semakin kuat pula kendalinya dalam
menghantui hati dan pikiranku. Aku tak bisa melupakannya dengan mudah. Itulah
kenyataan yang harus kuterima.
Sebelum
meninggalkan puncak, kami sepakat untuk bertemu di taman. Aku tiba di taman itu
sekitar pukul 10 pagi, sesuai dengan waktu yang kami sepakati. Waktu bergulir begitu cepat, tak terasa sudah
5 jam aku berada di taman itu. Bodohnya lagi aku tetap mau menunggunya tanpa
ada kepastian. Yang kutahu, rasa rindulah yang membuatku tetap sabar
menunggu. Kebetulan hari itu hujan, aku
hanya bisa duduk termenung di gazebo yang berada di tengah taman. Menikmati
pemandangan taman sembari berusaha mempertahankan agar signal HPku tetap ada. Aku
berharap akan ada pesan atau telepon darinya. Aku tak bisa menghubunginya,
sebab HP yang kupegang pulsanya habis. Menunggu selama itu tentulah aku merasa
sangat bosan dan jenuh. Tapi aku tetap setia menunggunya, meskipun kemurnian
dari perasaan rindu yang teramat dalam di hatiku tinggal 1 %. 99% sisanya
dipenuhi dengan rasa campur aduk.
Aku
menunggu, menunggu, dan menunggu. Aku berusaha meyakinkan diriku kalau dia
tidak akan mengingkari janjinya. Aku menunggu lebih lama, mengira-ngira kalau
dia sudah berada pada jarak yang tidak jauh. Aku terus menunggu. Setengah jam
pun berlalu. Adzan magrib terdengar. Jalan sudah tidak hujan lagi. Aku berniat
untuk sholat terlebih dahulu. Aku menuju ke arah masjid yang letaknya tak jauh
dari taman.
Handphoneku
berdering. Tanpa menunggu terlalu lama, akhirnya aku mengangkat telepon
tersebut, berharap dia bisa bertemu dan menghabiskan waktu lebih lama denganku.
Aku pun seolah melupakan apa yang telah kualami sejak pagi tadi. Namun,
pernyataannya membuatku seolah tidak
percaya dengan apa yang telah kualami. Aku tak percaya dia tega membuat usahaku
sia-sia begitu saja. Aku tak tahu apa yang harus kukatakan. Cukup kesunyian
malam saja yang menjadi saksi bisu akan
pengkhianatan yang kuterima.
Aku
terbangun, perasaanku kacau balau. Dadaku sesak. Air mata
terus mengalir dari sudut mataku. Lagi-lagi kejadian 3 tahun silam kembali
menghantui diriku, merasuki alam impianku. Aku sungguh kecewa dengannya. Dia
yang pernah menyelipkan harapan indah dalam anganku dan lenyap begitu saja
tanpa meninggalkan jejak. Namun, kini dia kembali datang mengisi hari-hariku.
***
Aku
terdiam dalam kegelapan
Termenung
dalam kesunyian malam
Tertunduk
dalam rengkuhan sengsara
Pikiran
dan hatiku mencoba tuk renungi nasib diri yang telah tertakdirkan
Pandanganku tetap terarah ke satu-satunya sumber cahaya
yang kekal di malam itu
Tanpa
sengaja mataku terpaku akan wujud itu
Anehnya,
ada getar dalam hati yang kembali mengguncangkan kerinduan yang terpendam
Namun,
bibir ini tak mampu menafsirkannya dalam sebuah kata
Respon
yang kudapat hanyalah linangan air mata yang perlahan mengalir dari sudut
mataku
Pikiranku
terus meronta-ronta, tak mampu memahami yang telah di rasakan sang hati
Hari-hari
begitu cepat berlalu. Tak bisa kupungkiri bahwa semua yang telah terjadi
kepadaku bukanlah salah Dafi sepenuhnya. Inilah takdir hidup untukku. Aku
sungguh tak adil jika tetap menyalahkannya akan kejadian tempo hari. Kini, aku
bisa menerima semuanya dengan lapang. Aku sudah bisa memberikan kesempatan
kepada hatiku untuk memaafkan Dafi.
Kini
sikapku terhadap Dafi tidak lagi secuek dan sejutek yang sebelumnya. Aku
kembali menjadi Kinan yang dulu ia kenal. Sosok teman yang selalu bersedia membantunya
dalam menyelesaikan problematika hidupnya. Kami memang selalu bersama. Disetiap
ada waktu luang, kami selalu menyempatkan untuk menceritakan masalah
masing-masing. Kami tidak pernah bosan dengan semua itu. Rumah dan tempat duduk
di sekolah yang bersebelahanlah yang
membuat kami semakin akrab dan lebih terbuka satu sama lain.
Hari
yang kulalui tentu tidak sebaik yang kuharapkan dan juga tidak seburuk yang
dibayangkan. Ya.. relatiflah. Baik buruknya seimbang. Kurasa itu hal yang wajar. Hidup memang
kadang pahit dan kadang manis. Begitu pula dengan permasalahan aku dan Dafi.
Memang sih, tak bisa dipungkiri kami masih sering bertengkar jika kejadian 3 tahun
yang lalu kembali terungkit. Tapi, aku berusaha melupakan semua hal yang
berkaitan tentang kejadian itu. Perlahan semua kenangan buruk mulai tergantikan
dengan lembaran yang jauh lebih baik.
***
" Kiinaaan,,
Kiiinaaaan!!!! " Teriak Dafi tepat di telinga Kinan sambil berusaha
mengguncang-guncangkan tubuh kinan yang masih terlelap.
Kinan
tersentak kaget. Ia beranjak dari tempat
tidurnya dengan tergesa-gesa. Tubuhnya masih labil dan ia hampir saja menabrak
kursi yang bertengger manis di seberang tempat tidurnya. Raut wajahnya tampak
emosi.
“Daaafiiii!!! Kenapa sih kamu harus
membangunkanku dengan cara sekasar itu!! Mimpi indahku kan jadi berakhir buruk
hanya karena suara cemprengmu itu!!! .”
“Maaf Ki…
aku nggak bermaksud seperti itu.” Dafi membela diri dengan wajah
memelas.
“Trus, Ngapain coba kamu masuk ke kamarku
tanpa seizinku??!” bentak kinan.
“Gimana caranya minta izin kalau kamu
tidurnya kayak orang mati, lagian aku kan sudah mengetuk-ngetuk pintu
kamarmu!!!”Balas Dafi tanpa rasa bersalah sedikit pun.
“Tapi kamu kan bisa nungguin sampai aku
bangun!!!” balas Kinan dengan nada kasar.
”Sorry!! Sorry!! Aku punya masalah penting,
aku sangat perlu bantuanmu dan ini nggak
bisa ditunda lagi!!!.” Balas Dafi dengan ekspresi memohon.
“Oh.. masalah
apa sih?” Kinan menanggapi dengan nada cuek dan ekspresi jutek.
Tanpa basa-basi ia segera menuju ke kamar mandi, siap dengan handuk serta
peralatan mandinya. Sebelum
ia betul-betul lenyap dari pandangan Dafi, ia berbalik, “Tunggu saja di Luar!!! Aku akan membantumu setelah pikiranku kembali
normal.”
Tanpa
sempat memberi respon, Kinan sudah mendobrak pintu kamar mandi. Dafi hanya cengengesan melihat tingkah kinan. Lalu tanpa basa-basi
ia segera membalikkan badan dan meninggalkan kamar Kinan.
“Daafiiii!!!” teriak Kinan sambil
menuruni tangga.
“Heii!! tumben mandinya
cepat!!!” Dafi yang sedari tadi menunggu sambil mondar-mandir di ruang tamu
yang berada tepat di bawah tangga menyahut dengan sigap.
“Masalah apa lagi sih yang mau dibahas?” Tanya Kinan sebagai tanda dimulainya sesi problem solving.
“Permasalahan yang memegang kendali besar untuk masa depanku”. Jawab
Dafi dengan nada yang mendramatisir.
“Huek!!!
Kamu sangat berlebihan. Memangnya tentang apa?” tanggap Kinan sambil
cekikikan.
“Bingung nih Ki, sampai sekarang saya masih gak tahu mau lanjut kuliah dimana.”. Jawab Dafi
datar.
“Huahahaha… kirain masalah apaan. Gitu
aja kok bingung!? Pilih aja yang sesuai dengan bakat dan keinginan hatimu.”
“Ki, kamu masih betah 'kan sahabatan sama aku?" tanya Dafi mengalihkan perbincangan.
“Kamu kok jadi mempertanyakan hal sebodoh itu sih?" balas kinan sambil cengengesan.
“Ki, kamu masih betah 'kan sahabatan sama aku?" tanya Dafi mengalihkan perbincangan.
“Kamu kok jadi mempertanyakan hal sebodoh itu sih?" balas kinan sambil cengengesan.
“Nggak kok, aku cuma takut kamu berubah" Dafi menanggapi lebih santai.
Kinan hanya diam, ia tampak memikirkan sesuatu.
“well, pas kuliah kita masih bisa sama-sama 'kan? Tetap sahabatan seperti ini?" sambung Dafi.
“Ngomong apaan sih, kamu kok jadi cengeng gitu! Kita tetap sahabatan, kapanpun itu" Kinan menjawab lebih serius.
Kinan hanya diam, ia tampak memikirkan sesuatu.
“well, pas kuliah kita masih bisa sama-sama 'kan? Tetap sahabatan seperti ini?" sambung Dafi.
“Ngomong apaan sih, kamu kok jadi cengeng gitu! Kita tetap sahabatan, kapanpun itu" Kinan menjawab lebih serius.
Mereka tampak asyik dalam perbincangan tersebut. Saking asyiknya mereka sampai lupa bahwa hari sudah menjelang malam. Mereka berdua memang selalu saja seperti itu. Setiap ketemu pasti tidak pernah kehabisan bahan cerita.
***
Waktu
bergulir begitu cepat, rasanya baru kemarin aku menjalani masa-masa SMAku. Tapi
aku harus menerima kenyataan bahwa inilah malam terakhir bagiku berada di
tempat ini. Di rumah yang penuh kegembiraan. Aku sedih karena aku
harus berpisah dari orang-orang yang aku cintai, tapi aku gembira karena aku
bisa mewujudkan impianku untuk bersekolah di universitas yang kudambakan selama
ini.
Sudah
hampir satu jam aku berbaring di atas tempat tidurku. Namun, mataku tetap saja
tidak bisa terpejam. Pikiranku sungguh kacau, kepalaku juga sangat pusing.
Kepergianku besok sama sekali belum diketahui oleh Dafi. Aku sengaja tak
memberitahukannya. Meski hatiku tak tega memperlakukannya seperti itu, namun
ada sisi lain dalam diriku yang sangat tidak mengharapkan dirinya tahu akan kepergianku.
Aku takut dia semakin terluka karena keputusan yang telah kutetapkan. Tapi, aku
betul-betul tidak bisa mengungkapkan alasannya saat ini.
Esok
paginya, aku berangkat ke bandara seorang diri di saat hari masih gelap. Ya
tentu saja, karena aku mengambil penerbangan pertama dan jarak rumahku dari
bandara tidaklah dekat. Aku tiba di bandara sekitar pukul 06.45. Masih ada
waktu satu jam sebelum pesawat yang kutumpangi lepas landas. Pikiranku sungguh tak tenang.
Aku mondar-mandir di ruang tunggu seperti anak yang kehilangan orang tua.
Huft.. pemberitahuan akan berangkatnya pesawat yang akan kutumpangi semakin
membuatku tidak tenang. Aku pasrah, tak ada lagi waktu untuk bertemu dengan
Dafi dan bahkan tidak untuk selamanya. Lagi-lagi timbul penyesalan dalam hati
akan apa yang kuderita selama ini. Penyakit akut yang mungkin akan mengantarku
ke gerbang kematian dalam jangka waktu yang tidak lama lagi. Aku berjalan
meninggalkan ruang tunggu dengan langkah yang gontai.
“Kiiinaaaan!!!!” seseorang berteriak memanggilku.
Aku mengenal suara itu, aku yakin dia betul-betul Dafi. Tapi aku tak ingin
berbalik melihatnya. Aku hanya terdiam terpaku di tempatku berpijak. Dia
semakin dekat, jarak kami mungkin tak lebih dari dua meter lagi. Dia menarik
lenganku sehingga kami berada dalam posisi yang saling berhadapan.
“Ki... kamu yakin akan melanjutkan studimu di
luar negeri?! kamu betul-betul akan pergi meninggalkanku?” dia berbicara
dengan nada kecewa.
“Aku yakin! Tekadku sudah bulat!!! Keputusanku
sudah tidak bisa digoyahkan lagi!” aku menjawab dengan tegas tapi
pandanganku tetap terarah ke tempat kaki sekarang berpijak.
“Lalu, mengapa kamu tidak mengatakan dari
awal kalau kamu harus pergi hari ini?”
“Nggak ada gunanya kamu tahu aku harus pergi
hari ini!!!” aku membentakkanya.
“Kamu tega yah!!! Bagaimana bisa kamu
berpikiran bahwa semua ini sangatlah tidak berguna untukku? Asal kamu tahu
saja, Aku betul-betul tidak rela melepaskanmu begitu saja!!!” Suaranya
terdengar ketir.
“Dan aku lebih tidak rela lagi kamu berada di
sampingku!!! ” aku menjawab dengan lantang.
“Kau betul-betul mengecewakanku!!! Aku ingin
kau memberikanku penjelasan yang dapat membuatku menerima keputusanmu!!!”
“Aku tak perlu memberikan penjelasan
untukmu!!! Biarlah waktu yang menjawab semua ini!!!”
“Kamu ini kenapa sih? Memangnya kamu nggak
pernah sadar? Apakah pernyataanku dan perhatianku yang selama ini kutujukan
padamu masih belum cukup untuk membuktikan kalau aku sayang sama kamu???”
“Aku sadar!! Dan aku sudah menyadarinya sebelum
kamu menyatakannya!!! Dan justru cintamu itulah yang kumanfaatkan untuk
menyakitimu!! Aku tak bisa menerima cintamu!! Aku membencimu!! Sangat-sangat
membencimu!! Semua perhatianku selama ini hanya kepalsuan semata!! Apakah ini
sudah cukup jelas untukmu?! ” Aku sungguh lepas kendali. Aku tak percaya
dengan apa yang kukatakan.
Dafi
diam terpaku. Ia tak mampu menanggapi lagi perkataanku.
“Kuharap pengakuan palsuku itu bisa
membantumu tuk melepaskanku.” Bisikku dalam hati
Aku
tak sanggup menatap wajahnya. Aku sudah tak berani menatap sorot matanya.
Tatapannya tajam menusuk hatiku. Aku berbalik arah, berusaha menyembunyikan
kesedihanku darinya. Air mataku perlahan mengalir dari sudut mataku. Aku
berjalan terus tanpa ingin berbalik melihat ke arahnya. Aku tak ingin ia melihat
kesedihanku. Aku ingin ia beranggapan bahwa aku bahagia karena perpisahan ini. Itulah
pertemuan terakhirku dengannya. Pertemuan terakhir yang kuharap bisa
menyelipkan kebencian di hatinya.
Sikapku
yang seperti dulu..
Mungkin
hanya bisa berlaku jika kau bertemu denganku di alam impian
Karena
semua telah berubah
Aku
yang kau kenal dulu jauh berbeda dengan aku yang sekarang
Dulu
kita memang sangatlah dekat
Tapi,
sekarang aku telah memutuskan untuk mengambil jarak
Dulu
kita begitu akrab
Tapi,
sekarang aku telah berusaha menghindarimu
Dulu
kau selalu ada untukku
Tapi,
sekarang aku tak menginginkanmu ada hanya untukku
Tapi
kuharap kau tak mempertanyakan mengapa aku melakukan semua itu.
Karena
sampai kapan pun kau takkan mendapatkan jawaban dariku.
Biarlah
alasan-alasan itu kupendam dalam hatiku saja
Aku
tak ingin menyakitimu, aku tak ingin…
Cukup
aku saja yang menderita karena luka masa laluku yang takkan bisa kusembuhkan
***
Lima
tahun telah berlalu. Namun, waktu tak bisa menghapuskan segala sesuatu tentang
Kinan dari pikiranku dengan mudah. Jujur, aku masih berharap takdir masih
memberikan kesempatan tuk mempertemukan kami. Aku menginginkan penjelasan yang
pasti darinya. Aku tidak bisa menerima perlakuannya tempo hari.
Aku
terus berusaha mencari informasi tentangnya. Namun, semuanya nihil. Ia bagai
tertelan bumi. Aku sudah sangat lelah, namun aku tidak ingin berhenti
mencarinya. Ya… Setelah bertahun-tahun, akhirnya usahaku itu membuahkan hasil.
Kini
aku tahu dia dimana. Tapi, aku tidak bisa percaya dengan apa yang kulihat.
Tapi, inilah kemungkinan yang betul-betul nyata. Aku harus menerima kenyataan
ini, meski ini sangatlah pahit. Aku masih tertunduk, mataku tertuju ke arah
bongkahan tanah yang telah menjadi pemisah antara aku dan kinan. Kini dunia
kami telah berbeda. Aku tak bisa lagi membendung air mataku. Lidahku terasa
kelu. Hatiku seperti tercabik-cabik.
Aku
tahu jasadmu memang sudah lenyap…
Tapi
sosokmu akan terus ada dalam anganku
Aku
tahu takkan ada lagi celotehan darimu…
Tapi
aku tak akan lupa dengan semua nasihatmu
Semua
tentangmu kan terkubur abadi dalam hatiku tuk selamanya.
Maafkan
aku atas kenangan pilu yang telah kutorehkan di masa lalumu
Selamat
tinggal sahabatku, selamat tinggal cinta pertamaku…
Kau
kan terus hidup dalam imajinasiku sebagai cintaku yang abadi.
Makassar, Desember 2009
Cerpen pertama. Dikumpulkan sebagai tugas menulis cerpen pada mata pelajaran Bahasa Indonea.
0 comments:
Posting Komentar
Apa komentarmu? Silakan menuliskannya ^^ ...