Ahmad bin Harb mengungkapkan:
Kamar itu penuh dengan kaum wanita yang memberi selamat... Lihat teman-teman dan karib kerabatku. Semuanya memberi selamat dan mendoakan keberkahan.
"Semoga Allah memberikan berkah kepada kalian berdua, dan memberkahi atas kalian berdua serta mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan"
Masing-masing mendoakan agar kami akur dan memiliki keturunan yang shalih...
Beberapa menit kemudian...
Aku duduk seorang diri, menunggu siapa lagi yang akan datang. Air mata mengalir dari kedua mataku. Ketika aku teringat ibuku, kala ia mendoakan agar aku mendapat suami yang shalih. Seolah-olah aku berada dalam mimpi. Bayangan membawa diriku kepada kejadian beberapa tahun yang lalu.
~***~
Pada pagi itu...
"Mana ibuku? kemana ia pergi?" tanyaku.
Suaraku terdengar lebih keras dari besar tubuhku. Kala itu aku masih berusia lima tahun. Aku kembali bertanya : "mana ibuku?.."
Jawabannya adalah linangan air mata. Ada yang menambahkan, dengan suara lemah karena terpotong tangisnya:
"ia sudah pergi menuju surga."
Pada saat itu aku tidak menyadari, siapa yang
membuat orang-orang jadi turut menangis. Aku, atau saudaraku yang masih berumur
tiga tahun. Atau mungkin tangisan orang-orang
di sekitar kami? Aku menuntun adikku untuk mencari ibu kami..
Kaki kami letih berlari ke sana ke mari. Naik ke
tingkat paling tinggi… mengetuk semua pintu, juga pergi ke dapur. Meski sudah
amat lelah, kami juga tidak mendapatkannya..
Dari situ, akupun yakin ibuku tidak berada di rumah. Akupun memeluk
adikku sambil menangis. Karena lelahnya, kamipun tertidur..
Setelah satu atau dua jam, aku kembali menuntun adikku untuk kembali mengulang mencari ibu. Kami tidak mendapatkannya di rumah, meskipun banyak wanita di situ yang jumlahnya menutupi pandangan dan pendengaranku. Tetapi dimana ibu bersembunyi? Setelah lama terdiam dan terbungkam, dengan gembira aku teringat. Ada satu tempat yang belum kami cari. Iya, di bawah pohon itu.. Ibuku menyukai tempat itu. Dengan cepat aku berlari, kami lelah menuruni tangga. Adikku sampai terjatuh karena aku menariknya terlalu keras. Akan tetapi akhirnya, kami hanya melihat pohon itu saja.. Kami perhatikan bagian atas pohon, bawahnya. Semua bagian pohon itu kutelusuri dengan pandanganku. Yang kulihat cuma pohon saja, beberapa tanaman yang disukai ibu. Tetapi dimana ibuku?
Tiba-tiba terdengar suara hiruk pikuk. Aku melihat kaum lelaki saling memanggil. Memekakkan telingaku dan membuat mataku melotot.
Beberapa saat, terlihat langkah-langkah cepat.
Mereka lewat di hadapan kami dengan menggotong sesuatu. Ketika adikku bertanya
epadaku, aku jawab pertanyaannya yang lugu itu:
Aku sendiri tidak menyadari, bahwa yang digotong itu adalah ibuku! Kalau aku tahu pasti upegang dan tidak kubiarkan pergi..
“Mereka membawa barang berat.
Masing-masing ikut serta membawanya.”
Aku sendiri tidak menyadari, bahwa yang digotong itu adalah ibuku! Kalau aku tahu pasti upegang dan tidak kubiarkan pergi..
Kaum lelakipun pergi menghilang.
Suasana menjadi hening.. Kami duduk dan bermain-main di atas tanah dengan
tenang. Di bawah pohon, sebagaimana kebiasaan kami bersama ibu. Itulah hari
pertama, kami pergi ke kebun tanpa mengenakan sepatu. Kami haus, tapi tidak
kami dapatkan air..
Tiba-tiba datanglah salah seorang
wanita kerabat kami dan membawa kami masuk bersamanya…
Keesokan paginya, kami mulai membahas masalah itu di setiap tempat. Aku mengumpulkan kekuatanku dan berkata kepada adikku yang terus menangis:
“Ibu pasti pulang. Pasti pulang lagi.”
Nenekku dengan tergopah-gopah datang
ketika suara tangis ami mengeras. Ia memeluk kami… aku masih merasakan air mata
ibuku yang menetes di kepalaku..
Setiap kali kulihat seorang ibu,
tercium olehku bau khas ibuku. Aku teringat, bahwa suatu hari ketika kami
membuatnya marah, ia berkata:
“Aku akan pergi dan meninggalkan kalian..”
Sumber: Perjalanan Menuju Hidayah, Abdul
Malik Al-Qasim
BalasHapussalam super sahabat,
tetap semangat dan sukses selalu ya
ditunggu kunjungan baliknya :)