Senin, 30 Desember 2024

Dasawarsa: Tentang Kehilangan

Satu dasawarsa telah berlalu sejak perjumpaan terakhir kita. Setelah momen itu, rasanya aku tidak pernah bisa menangis lagi saat mendengar kabar duka siapa pun. Mungkin benar kata orang, kematian seseorang yang paling kita cintai akan membuka mata kita bahwa kehilangan itu adalah hal yang paling menyakitkan. Setelahnya, kehilangan lainnya akan terasa biasa saja.

Banyak hal yang kulalui dengan mengenangmu, tentang segala usaha yang telah kau lakukan untukku, dan semua hal yang kau kerjakan setiap hari tanpa mengeluh: memasakkan makanan, membersihkan rumah, mencucikan pakaian kotorku, merapikan tempat tidur, menyiapkan air setiap kali aku ingin mandi, menyisihkan uang jajan untukku, dan membelikan apapun yang kuinginkan. Bodohnya, aku baru menyadari betapa sangat tidak bersyukurnya aku saat itu, saking terbiasanya.

Aku ingat saat kau terbaring di tempat tidur selama masa pemulihanmu. Kau melihatku duduk melantai, membungkus buku-bukuku yang sudah menumpuk dengan plastik yang baru kubeli. "Nanti nah nak, kalau adami uangku, kubelikan ki lemari buku." katamu, sambil memperhatikanku yang masih asyik menggunting plastik buku dan meletakkan beberapa buku di kardus bekas buah yang cukup besar. Itu adalah janji terakhirmu—janji yang tak sempat kau tepati.


Tapi kini, aku masih sering menyesali diri saat mengenang segala hal yang telah kau usahakan untukku selama hidup. Aku menyesal tak sempat berterima kasih lebih banyak. Aku menyesal tak banyak menghabiskan waktu bersama dan mendengarkan ceritamu dengan lebih antusias.

Aku ingin tahu lebih banyak tentang perjalanan hidupmu—tentang masa kecilmu, tentang sekolahmu, tentang cinta pertamamu dan pertemuan dengan pasangan hidupmu, masa-masa sulit dan bahagia yang kau lalui. Aku ingin tahu bagaimana perasaanmu saat anak pertamamu lahir, saat ia menikah, bagaimana perasaanmu dan cerita yang kau ingat saat aku lahir sebagai cucu pertamamu, dan bagaimana kau melalui setiap momen kesedihan setelah kehilangan orang yang paling kau andalkan seumur hidup, suami yang kau cintai sepanjang hidupmu.

Aku menyesal tak banyak bertanya saat kita masih memiliki kesempatan untuk bercerita panjang lebar. Dulu, aku lebih suka mendengarkan cerita-ceritamu dengan tenang, tanpa bertanya lebih banyak.

Seperti saat kita duduk melingkar di ruang tengah, menikmati mie kering yang dibeli di perbatasan kota, meski hanya dengan cahaya lilin karena pemadaman bergilir. Kita makan bersama, dan kau bercerita dengan antusias tentang masa lalumu, puluhan tahun lalu. Tentang keseruan masa kecilmu saat bermain di sumur tua di Katangka, dan hal-hal mistis yang kadang terjadi. Dan aku hanya diam menyimak.

Aku juga ingat saat kau keluar dari ruang operasi. Aku buru-buru berlari ke toilet, bukan karena kebelet, tetapi karena aku ingin menangis diam-diam tanpa ada yang melihat. Itu adalah salah satu momen yang paling berat bagiku.

Masa-masa pemulihanmu juga kadang kukeluhkan, karena aku merasa tak bebas ke mana-mana, harus menemanimu di rumah.

Di hari kematianmu, aku seperti orang linglung, menangis dan diam sepanjang hari. Beberapa temanku datang mendoakanmu, dan aku hanya menyambut mereka dengan wajah muram, penuh duka.

Beberapa hari setelah kepergianmu, itu kali kedua aku kembali ke rumah orang tuaku setelah 10 tahun tinggal bersamamu. Aku hanya tinggal sekitar sebulan lebih di sana. Setelah itu, aku harus kembali ke rumah karena harus melanjutkan hidupku. Rasanya, aku baru menyadari bahwa tanpamu, aku tak bisa melakukan apa-apa. Rumah terasa sangat sunyi. Aku hanya mendengar suara kendaraan lalu lalang, karena rumah kita tepat berada di pinggir jalan raya.

Pakaian yang biasanya hanya kutahu diambil di lemari saat ingin kupakai dan disimpan di tempat cucian setelah kotor, kini harus ku cuci sendiri. Makanan yang biasanya sudah siap di meja makan, tapi aku lebih sering tak menyentuhnya karena tidak nafsu makan. Kini, aku harus mulai mencari bahan-bahannya di pasar dan memasaknya sendiri. Namun, jika malas, aku akan makan di luar dan pulang dalam keadaan kenyang. Saat gas habis, aku tak punya nyali untuk menggantinya sendiri, tapi sekarang, aku sudah mahir melakukannya.

Aku sedikit menyesal jika mengingatnya—kenapa dulu aku tak melahap habis semua makanan yang sengaja kau sediakan untukku? Bahkan adikku pernah marah dan cerita karena sakit hati, "Tadi saya mau makan, lalu Dato tegur, 'Tunggu dulu, kakakmu belum makan.'” Aku hanya diam, tak bergeming saat mendengar ceritanya. Rasanya dadaku sesak, perih rasanya mengingat semua kejadian-kejadian itu—bagaimana kau berusaha menyiapkan semua kebutuhanku dan lebih mengutamakanku.

Aku juga teringat bagaimana bangganya kau saat datang ke sekolah untuk mengambil raporku. Saat itu, aku mendapat hadiah Al-Qur'an karena menjadi salah satu juara kelas. Betapa bahagianya kau dengan pencapaian kecilku.

Kita juga sering berjalan kaki ke pasar, melewati jembatan kembar yang kadang terasa akan runtuh saat mobil besar lewat. Kau menceritakan dulu air di sini sangat jernih, bahkan untuk mencuci baju dan mandi bisa dilakukan di bawah jembatan. Saat kami lewat, airnya berwarna coklat susu setelah longsor di bendungan Bili-Bili. "Mungkin 10 atau 20 tahun lagi, warna airnya akan lebih jernih," katamu. Sudah 10 tahun berlalu, namun warnanya masih keruh, belum seperti yang kau harapkan.

Setiap kenangan bersamamu kini terasa begitu berharga. Aku menyesal tak lebih banyak berbicara dan bertanya. Tapi aku berjanji, bahwa setiap momen bersamamu akan selalu aku kenang, dan akan aku jadikan pelajaran untuk lebih menghargai setiap orang yang ada di hidupku.

Sabtu, 16 November 2024

Jangan Terlalu Pilih-Pilih


Tolong jangan pernah berkata "Jangan terlalu pilih-pilih" kepada teman, saudara, keluarga, atau orang di sekitarmu yang belum menikah jika kamu belum tahu sejauh mana usaha mereka untuk menuju pernikahan.


Apalagi jika komentarmu itu hanya berdasarkan asumsi atau cerita orang lain.


Sebab, dalam proses ta'arufnya pun, kamu tidak tahu apakah dia yang terlalu pemilih, atau justru calon pasangannya yang mundur perlahan karena merasa tidak cukup pantas untuk perempuan seperti dia? Atau mungkin karena dia seorang perempuan yang bekerja, belum berniqab, atau alasan lain yang membuatnya ditolak, bukan karena pilih-pilih?


Kamu tahu tidak sudah berapa kali dia gagal dan merasa lelah dengan setiap proses yang telah dilaluinya? Sudah mencoba jalur perkenalan melalui teman, ta'aruf di sana-sini, tetapi tetap saja Allah belum memudahkan?


Dia sendiri sudah sangat hancur, merasa tidak berharga, dan merasa tidak ada yang mau memperjuangkannya karena kegagalan yang terus menerpa. Namun, kamu dengan seenaknya berkomentar, "Jangan terlalu pilih-pilih" karena kamu tidak pernah melalui kesulitan yang sama?


Semoga kemudahan yang Allah berikan padamu dalam melalui proses ta'aruf tidak membuatmu gampang meremehkan orang lain yang sedang berjuang.


Bersyukurlah, kamu tidak perlu menerima banyak penolakan dan bisa dengan mudah mendapatkan laki-laki yang berani dan tidak ragu untuk melamarmu.


Semoga kamu tidak lagi sembarangan berkata, "Jangan terlalu pilih-pilih," jika sebelumnya pun kamu tidak pernah ingin tahu seperti apa proses yang dia lalui dan seberapa terjal jalan yang dilewatinya, sampai ia sendiri merasa muak dan tidak percaya diri lagi.


Tolong jangan berani lagi berkomentar, "Jangan terlalu pilih-pilih." Kalau ajalmu pun, kamu tak tahu kapan waktunya. 


Bisakah kamu tidak berkomentar seenaknya lagi dan membuat orang lain semakin kesal dan putus asa dengan hidupnya sendiri?


Selasa, 05 November 2024

Mitos Patah Hati

Siang terik, setelah menjemur pakaian yang baru saja kucuci, aku bergegas menuju warung yang berada di depan kostan teman (tempatku transit sebelum melanjutkan perjalan besok subuh).

Aku memesan makanan dan mulai mengajak si Mbah, pemilik warung, untuk berbincang. Setelah makananku siap, Mbah duduk tepat di seberangku dan menanggapi pertanyaan-pertanyaan yang baru saja kulontarkan sebelum menyantap makan siangku. Kemudian percakapan kami pun berlanjut ke topik-topik yang cukup umum.

"Kuliah di ITS ya Neng?" Tanya Mbah.

Aku tersenyum sambil menggeleng, "Tidak Mbah, sudah lulus kuliah. Saya temannya si X."

"Oh kirain kuliah di situ, kan anak kostan depan banyak yang kuliah di ITS. Jadi sudah kerja ya?

"Iya Mbah sudah." Jawabku dengan suara lembut, masih menikmati suapan makananku.


"Neng, asalnya dari mana?" tanya Mbah, tak sabar ingin mengetahui lebih banyak.

"Dari Sulawesi, Mbah" jawabku sambil tersenyum. "Saya baru tiba tadi sebelum dhuhur."

Mbah mengangguk-angguk, seolah mencerna jawaban itu. "Wah, jauh ya. Naik apa ke sini?"

"Naik kapal, Mbah. Perjalanan 3 Hari 2 malam." kataku sambil melanjutkan suapan. 

Mbah terdiam sebentar. Setelah beberapa saat, kami mulai berbicara tentang hal-hal klise, tentang pekerjaan, tentang cuaca di Surabaya dan Makassar, sampai topik yang lebih personal.

"Sudah nikah ya Neng?" Tanya Mbah tiba-tiba saat aku sibuk mengunyah.

Aku menelan makananku dan tersenyum.

"Belum Mbah," jawabku dengan perasaan yang tenang. Ya kali ini aku sudah nggak terbebani saat ada yang menanyakan perihal pernikahan. 

Mbah mengangguk sambil menatapku dengan penuh rasa ingin tahu. "Apa pernah patah hati, ya Neng?" tanyanya, masih penasaran.

Aku tertawa kecil, tidak bisa menahan geli. "Nggak kok, Mbah," jawabku sambil tertawa. Rasanya seperti dejavu. Momen yang sama sekitar 2 atau 3 tahun lalu, saat aku makan siang di kantin kantor BKPSDM. Pemilik warung di sana juga sempat menanyakan hal yang sama, mengira aku telat menikah karena patah hati atau ditinggal nikah. 

Ah sepertinya mitos patah hati yang membuat orang mati rasa dan gak mau nikah karena trauma atau masih terjebak di masa lalu masih cukup populer, ya?

Aku jadi penasaran, apa emang betul patah hati setraumatik itu? 

Bagi yang pernah patah dan trauma karena cinta, semoga Allah menyembuhkan dan menggantinya dengan yang lebih baik. 

Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Dia tahu kapan waktu yang tepat untukmu, dan Dia akan memberimu cinta yang lebih baik, yang tepat sesuai yang kau butuhkan.

Rabu, 18 September 2024

Waktu untuk Pulih



Hari ini rasanya sangat melelahkan. Energiku seperti terkuras habis. Padahal tadi pagi, aku hanya menghabiskan waktu sekitar 3 jam di luar rumah dan 11 menit untuk lari 8 putaran di ruang terbuka hijau, samping lapangan Syekh Yusuf. 

Apa karena tubuhku kaget? 

Kok tiba-tiba lari padahal sudah lama gak olahraga. Terakhir renang pun dua bulan lalu. Tapi anehnya kakiku gak sakit.

Apa karena lelah pikiran saja?

Aku juga lebih banyak diam dan moodku berantakan. Akhir-akhir ini ada hal yang menyita pikiranku dan membuatku gak minat ngerjain apa pun dan malah membuatku kewalahan. 

Apa aku butuh waktu untuk beristirahat dan memulihkan diri?

Selasa, 27 Agustus 2024

Allah Mengabulkan Do'a Tanpa Disangka

"Kak, nyangka gak sih bakal lolos oral presentation?" Tanya seorang teman yang duduk tepat di sebelah kiriku setelah Kepala BBPK Ciloto menyebut nama-nama yang abstraknya berhasil lolos review dan diundang menjadi peserta 11th NSCE (National Scientific Conference on Epidemiology) Tahun 2024 di Bandung.

"Gak nyangka juga sih." Aku menjawab sambil menyimak rangkaian seremoni penutupan pelatihan FETP Frontline.

"Tapi, sejak awal selalu positif thinking siih. Intinya yakin dan percaya sama Allah, insyaAllah bisa menyelesaikan abstraknya dengan baik." Lanjutku sambil mengingat-ingat momen di mana aku melalui kesulitan selama proses penyelidikan kasus sampai berhasil menulis abstrak dalam jangka waktu hanya sekitar sepekan lebih. Tentu ini karena pertolongan Allah, Allah yang menggerakkan hati teman-temanku untuk menjadi perantara dalam membantuku menyelesaikan pengumpulan data sampai menerjemahkan abstrakku ke bahasa inggris.

"Meski senang bisa lolos, aku juga khawatir nih, apa bisa ya nanti presentasinya pakai bahasa inggris?" Suaraku terdengar memelas, sudah cemas duluan membayangkan gimana nanti presentasinya. 

"Insyaallah pasti bisa! Kakak kan sudah terpilih, artinya lebih dipercaya dan bisa diandalkan dibandingkan yang lain." Balasnya meyakinkanku.

Aku terdiam merenungi kata-katanya. "Sungguh Takdir Allah gak pernah salah, insyaAllah aku bisa melewatinya dengan baik, yang penting mau mengusahakannya dan belajar lebih giat dari yang lain." batinku meyakinkan diri sendiri.

***

"Mbak Athifah percaya gak sih bisa lolos?" Celetuk teman lain ~yang namanya juga disebut sebagai salah satu peserta yang lolos~ sambil menertawakan diri sendiri karena takjub dan sama sekali gak menyangka bisa menjadi salah satu peserta terpilih.

"Gak percayalah mbak! Kok bisa ya kita yang lolos?" Balasku dengan tawa yang lepas.

"Tapi ini kan sudah takdirnya Allah ya mbak, maunya Allah. Jadi meski gak nyangka dan rasanya di luar nalar, seharusnya kita yakin ini pasti skenario terbaikNya dan insyaAllah kita mampu melaluinya." Sambungku sok bijak untuk menenangkan diri sendiri.

Jumat, 26 Juli 2024

Mimpi yang Kita Perjuangkan



2024 adalah tahun yang penuh ambisi. Sudah 7 bulan berlalu, masih banyak dream list dan hal-hal yang tampaknya tidak mungkin, tapi masih sedang kuusahakan agar bisa terwujud di tahun ini. Meski harus melaluinya dengan banyak komentar yang kurang menyenangkan dari orang lain.

"Tifah jangan terlalu sibuk dengan pekerjaan, ingat umurmu, usahakan nikah dulu." Celetuk seorang teman saat aku baru pulang dari luar kota sehabis mengikuti pelatihan.

"Kak doakan saja ya, siapa tahu saat saya sibuk ke mana-mana,  bisa ketemu jodohnya di sana." Jawabku dengan senyum yang sedikit getir.

Komentar, pernyataan, bahkan pertanyaan orang lain yang  berusaha kuabaikan, tetap saja kadang  masih membuatku merasa rendah diri. Tidak bisa kupungkiri, aku juga manusia biasa yang kadang bisa rapuh dan terprovokasi omongan orang lain. 

Bahkan aku sempat minder dan mengecilkan mimpiku sendiri karena selalu saja ada yang membandingkannya dengan  statusku yang belum menikah. Padahal jodoh termasuk salah satu rezeki yang berada di luar kendali kita kan? Toh mereka juga tidak pernah mau tahu seberapa besar usaha kita berproses menuju pernikahan kan? Mereka juga tidak peduli saat kita melalui banyak kegagalan kan? 

Bagiku sebuah pernikahan hanya salah satu dari banyaknya dream list yang kuusahakan bisa terwujud tahun ini. Meski nikahnya belum bisa, setidaknya ada mimpi lain yang bisa kuperjuangkan dengan lebih baik tanpa harus mengharapkan siapa-siapa, kecuali Allah. Dan nyatanya takdir Allah memang jauh lebih indah, ada kesempatan-kesempatan lain yang  Allah berikan dengan sangat mudah, ada mimpi lain yang Allah wujudkan dengan sangat menakjubkan. 


Rabu, 17 Januari 2024

New Chapter Begin


Dear me,
Maafkanlah siapapun yang pernah menorehkan luka, agar hatimu lebih lapang.

Lepaskanlah segala ketakutan yang meredupkan mimpimu selama ini, agar kamu bisa menjalani hidup dengan lebih berani.


Dear me,

Lihat binar matamu dengan lekat, mata yang sedemikian rupa menahan tangis di depan orang lain, lihat jemari kecilmu yang telah bekerja dengan giat tiap hari,  lihat tubuh mungilmu yang sudah bertahan  menghadapi segala musim. Terimakasih sudah berusaha sekuat tenaga.  Terimakasih sudah menjaga dan menghargai dirimu dengan baik, I'M PROUD OF YOU!


Dear me,

Jangan terlalu menuruti ketakutanmu, jangan terlalu mengkhawatirkan masa depanmu. Aku yakin kamu bisa mengusahakan dan melakukan yang terbaik  dalam hidupmu, meskipun hasil akhirnya tentu di luar kendalimu.  Setidaknya kamu sudah mau mencobanya, soal hasil biar Allah saja yang atur, toh apapun yang Allah takdirkan tak pernah keliru kan?


Dear me,

Jangan menyerah ya! Mulai hari ini, Rabu, 17 Januari 2024, yuk kita sama-sama berjuang! Mari kita jalani hidup kita tahun ini dengan ugal-ugalan.



Dear me,

Kuharap setahun ke depan pada 17 Januari 2025 kita bertemu kembali dengan versi terbaikmu, menjadi perempuan yang jauh lebih bahagia dari saat ini. 


Semoga saat itu kamu sudah lebih mengenal dirimu sendiri, berhasil meningkatkan value dan potensimu, sehat lahir batin, finansial stabil, target ibadah bisa tercapai: shalat tepat waktu, tahajjudnya lebih  konsisten, ngajinya lebih rutin, puasa sunnah senin kamisnya juga sudah dibiasakan, lebih banyak bersyukur daripada ngeluhnya, menemukan pasangan yang terbaik, menjadi awardee LPDP dan melanjutkan studi S2 Epidemiologi Lapangan.




#setahundarisekarang #CCBP