Selasa di
waktu subuh…
Saat subuh menjemput, tiada yang paling indah
selain kesempatan untuk kembali bisa membuka mata.
“Rokkugo! Rokkugo! Rokkugo! Marhe
mal! ”
Huh! Lagi-lagi deringan alarm HP adikku
yang terdengar seperti bahasa alien di telingaku spontan membuatku terbangun.
Ini sangat menyebalkan harus terbangun sebelum tahu akhir cerita dari mimpi indahku.
Lagi-lagi mimpiku terputus tragis.
“..Alhamdulillahi rabbil ‘alamin . .
.” Lantunan bacaan imam shalat di
Masjid mengalun merdu
“Astaghfirullah,
ini sudah lewat adzan subuh!”. Dengan tergesa aku langsung melompat dari
pembaringan. Aku berusaha menstabilkan kesadaranku dengan mengucek mata yang
masih terkatup-katup. Aku menyeret kakiku sambil berusaha membuat mataku melek
sepenuhnya. Aku tertatih menuntun langkah menuruni tangga. Sesampainya di
ambang pintu belakang, aku memicingkan mata.
“Tumben, subuh-subuh begini sudah cerah” batinku.
Aku menengadahkan kepala. MasyaAllah,
ternyata sinar bulan. Langit biru kelam dihiasi bintang-bintang dan bulan yang bulat sempurna.
Perpaduan gradasi warna yang menciptakan
pemandangan yang sangat indah,
menakjubkan. Sesaat aku terkesima dengan keindahan langit subuh. Sungguh
ciptaan sang Maha Pencipta tiada tandingannya.
Di tengah ritual wudhuku, terdengar
samar ketukan mike dari speaker masjid. Aku diam sejenak untuk menyimak.
“Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un
, turut berduka cita atas berpulangnya . . . . .”
“Inna
lillahi wa inna ilaihi raji'un” bisikku kaku. Aku merinding teringat
kematian. Lagi-lagi berita duka. Ini sudah berita duka yang ke-2 di pekan ini.
Beberapa hari yang lalu, tetangga depan rumah juga berduka cita karena
kepulangan sosok seorang ayah ke rahmatullah. Dan yang paling menyedihkan,
kematian ayahnya itu hanya terpaut dua hari setelah acara pernikahan anaknya.
Ini sangat tragis bukan?
…Dan tidak ada yang lebih dekat
dari kita kecuali kematian…