Beberapa pasang kaki kecil melangkah dengan riang menyusuri pematang yang berada di antara bentangan padi hijau yang mulai menguning. Mereka terlihat sangat gembira. Berjalan berbaris dengan langkah cepat. Mereka berusaha menyeimbangkan tubuh dengan merentangkan kedua tangan sejajar bahu agar tidak terjatuh. Beberapa anak memegang gelas plastik dan jaring untuk menangkap belalang. Sesekali mereka berhenti, mengamati tingkah belalang yang melompat-lompat lincah di dahan padi yang tersapu semburat senja.
“Berhasil! Dapat satu belalang.” Aya, Juwita Cahaya, berseru riang sambil melambaikan tangan kanannya yang menggenggam erat jaring. Teman-temannya mendekat, penasaran ingin melihat.
Belalang yang terperangkap berusaha mencari celah agar bisa bebas dari jaring. Melihat belalang yang bersusah-payah, gelak tawa mereka menggema, lalu sayup-sayup tenggelam dalam alunan merdu suara jangkrik, nyanyian tonggeret, kicauan burung, dan lantunan shalawat yang terdengar samar dari menara masjid. Suara khas di pedesaan menjelang senja, terdengar sangat damai dan menenangkan hati.
Sudah dua jam mereka bermain, tapi belum ada yang bergegas pulang. Mereka masih asyik saling mengejar dan berlomba menangkap belalang.
“Ayaaa, belalangnya lepaaaas.” Teriak Alina Kemala setelah menyadari gelas plastik di genggaman kecilnya sudah kosong, matanya menilik dahan-dahan padi di kiri kanannya, mencoba mencari belalalangnya yang lepas.
“Ayoooo buruan cari lagi, Alin!” Ujar Aya sambil menoleh ke arah Alin.
Beberapa detik kemudian, Aya mengangkat gelas plastik di tangannya sejajar dengan mata bulatnya, ia mengawasi dengan cermat, “syukurlah, masih ada.” Gumamnya setelah melihat dua ekor belalang tangkapannya masih bertengger manis di dalam gelas plastik. Lalu pandangannya kembali menyapu hamparan sawah yang luas.
Teman-temannya yang lain sudah tidak terlihat, hanya tertinggal Juwita Cahaya dan Alina Kemala yang masih sibuk mencari belalang.
“Cepat lariiii Alin, yang lain sudah tidak ada!” Seru Aya saat menyadari teman-temannya yang lain sudah pulang.
Dengan sigap Alin mempercepat langkahnya, tak peduli lagi dengan belalangnya yang sudah melarikan diri tanpa jejak.
Matahari di ufuk barat sudah hilang tertelan cakrawala, terbenam di antara hamparan sawah. Aya menengadahkan kepala, “langitnya sangat indaaaaah!” Aya berdecak kagum, terpukau dengan warna langit senja.
“Waaaah warnanya cantik sekaliiiii.” Lontar Alin tak kalah takjub.
Langit senja di desa memang selalu memukau mata dan sangat menakjubkan, perpaduan warna jingga kebiruan dengan semu merah muda dan ungu terlihat sangat indah.
“Ayaaaa cepat pulaaaang, sudah magriiiib. Banyak setan berkeliaraaan!” Nenek Aya berteriak dari ujung pematang sawah, suaranya terdengar agak serak. Dia berdiri membungkuk, tangan kanannya yang penuh keriput menggenggam erat tongkat kayu untuk menjaga keseimbangan, sedangkan tangan kirinya menenteng lampu minyak.
“Tunggu Neeek!” Aya menjawab dengan lantang.
Gadis kecil itu berlari lebih cepat, tanpa sadar kakinya memijak tanah yang licin, ia hampir saja terjerambab. Beruntung Alin berdiri tepat di belakangnya, sigap menangkap pergelangan tangannya sebelum ia merosot ke bawah.
“Aduuuh hampir saja kakiku masuk ke lumpur.” Keluh Aya panik.
“Hati-hati kalau jalan, syukur kakimu tidak terkilir.” Tambah Alin. Dia sudah seperti seorang ibu yang mengkhawatirkan anaknya.
Nenek sudah menunggu mereka selama sepuluh menit, dari ekspresi wajahnya, jelas ia sangat cemas.
“Kalian ini, suka lupa waktu kalau bermain. Sudah nenek ingatkan, harus pulang ke rumah sebelum magrib.” Gerutu nenek setelah Aya dan Alin berada di dekatnya.
“Maaf, Nek, kami terlalu asyik menangkap belalang.” Aya menjawab dengan nada suara yang terdengar kikuk. Sedangkan Alin hanya diam tak bergeming. Mereka tidak berani membantah karena sadar diri telah berbuat salah. Baru kali ini mereka melanggar pesan nenek karena keasyikan bermain sampai lupa waktu.
“Lain kali, kalian tidak boleh seperti ini lagi.” Pinta Nenek khawatir.
“Baik Nek, kami tidak akan mengulanginya.” Tutur Aya dengan sangat menyesal.
Juwita Cahaya adalah anak yang ceria dan penurut, dia satu-satunya cucu Nenek, sedangkan Alina Kemala adalah teman bermainnya, mereka sudah seperti dua sejoli yang selalu bersama sejak lahir, hari ulang tahu mereka hanya selisih 2 hari. Rumah mereka juga berdekatan, berjarak 10 meter dan diantarai dengan pohon mangga. Namun nasib mereka sedikit berbeda, sejak usia 3 bulan, Aya tinggal berdua dengan Nenek di rumah berdinding anyaman rotan dan beratap rumbia, sedangkan Alin tinggal berempat dengan kedua orang tua dan kakak laki-lakinya di rumah berdinding bata dan beratap seng.
Mereka pulang ke rumah, berjalan beriringan ditemani kemeriahan paduan suara jangkrik dan tonggeret. Alin di sebelah kiri nenek dan Aya di sebelah kanan. Sepanjang jalan menuju ke rumah, suasana di sekeliling terlihat temaram, satu-satunya sumber cahaya hanya dari lampu minyak yang dipegang nenek, sebab tidak ada rumah penduduk, hanya ada pohon kelapa, pohon pisang, pohon mangga, pohon jambu, pohon bambu dan beragam pohon lain yang entah apa namanya.
Aya mengedip-ngedipkan mata, “Nek, apa itu yang menyala?” Jari mungilnya menunjuk ke arah cahaya yang berkelap-kelip di antara pepohonan, terbang mengitari udara yang mulai terasa dingin.
“Apa itu lampu terbang?.” Celetuk Alin dengan polos.
Aya hanya terkekeh mendengarnya.
“Itu sejenis serangga, namanya kunang-kunang.” Nenek menjelaskan dengan suara memelan.
“Waaah kunang-kunang, cantik sekali!” Ungkap Aya dengan takjub, intonasi suaranya terdengar bahagia.
“Aku baru tahu ada serangga yang membawa lampu.” Beber Alin heran.
Ini pertama kalinya mereka melihat kunang-kunang, serangga yang bisa menyala, memendarkan cahaya.
“Dulu waktu Nenek seusia kalian, jumlah kunang-kunang jauh lebih banyak. Terlihat sangat indah saat mereka berterbangan di depan rumah setelah magrib.” Nenek mengenang masa kecilnya.
“Kata orang tua dulu, kunang-kunang itu kukunya orang meninggal.” Lanjut Nenek.
“Kukunya orang meninggal? Ih sereeem.” Aya bergidik ketakutan.
“Waktu pertama kali diberitahu seperti itu, Nenek percaya kalau itu kuku orang meninggal.” Nenek tertawa mengingat kepolosannya, “Setelah dewasa, Nenek baru tahu, ternyata itu hanya mitos.” Beber Nenek.
“Waaah kirain betulan kukunya orang meninggal. Ternyata hanya mitos.” Jelas Alin legah setelah mendengar cerita Nenek.
“Beruntung ya kita masih bisa melihat kunang-kunang.” Terang Aya dengan senyum sumringah.