Nenek tidak langsung menjawab, dia terdiam beberapa detik. Keningnya berkerut, matanya menatap kosong ke arah daun rumbia yang tersusun rapi di langit-langit rumah. Dia berjerih payah memutar otak, mengira-ngira apa yang harus dia katakan untuk menjawab pertanyaan Aya.
“Nenek juga belum pernah melihat seperti apa bentuk rumah kunang-kunang.” Akhirnya Nenek bersuara setelah menimbang-nimbang beberapa saat. Lalu Nenek perlahan menggeser badannya ke kiri agar bisa tidur menyamping, melihat ke arah Aya.
“Sepertinya kunang-kunang tidak memiliki rumah, tidak seperti lebah yang bisa membangun rumahnya sendiri dan memiliki sarang yang ditempati untuk tinggal dan bekembang biak.” Nenek melanjutkan jawabannya.
“Oh seperti itu ya Nek.” Aya juga menggeser badannya, berbaring menyamping ke arah kanan, menghadap ke Nenek. Dia siap menyimak cerita selanjutnya.
“Nenek cuma pernah melihat kunang-kunang terbang bebas di depan rumah, di sawah, di kebun, di ladang, di hutan, di...” Nenek berhenti, berusaha mengingat-ingat di mana lagi dia pernah melihat kunang-kunang terbang.
“Seruuu sekaliiii! Asyik ya Nenek bisa lihat kunang-kunang di mana-mana.” Sahut Aya antusias.
Tanpa sadar Nenek tersenyum hangat, mengingat kenangan indah di masa kecil bersama teman-temannya. Betapa bahagianya mereka saat melihat kunang-kunang terbang dengan cahayanya yang berkelap-kelip. Setiap malam, sepulang dari Shalat Magrib di Masjid, nenek selalu bermain bersama teman-temannya dan mengejar segerombolan kunang-kunang yang terbang menembus kegelapan.
Tiba-tiba Aya mengambil sarung yang terlipat di sisi kanan nenek. Lamunan Nenek pun langsung buyar. Udara dingin mulai terasa menusuk ke tulang, berhembus masuk melalui celah-celah dinding rumah, Nenek refleks menarik sarung yang melorot di kakinya untuk menutupi seluruh badan.
“Jadi, kunang-kunang bisa hidup di mana pun ya, Nek?” Aya lanjut bertanya setelah dia menyelimuti badannya dengan sarung.
“Iya betul, kunang-kunang hidup bebas di alam, tapi tidak semua lokasi bisa ditempati kunang-kunang untuk hidup.” Lanjut Nenek sambil mengucek mata.
“Jadi kunang-kunang juga suka memilih-milih tempat yang bagus untuk ditinggali ya, Nek?” Tanya Aya sambil menguap. Dia masih melanjutkan pertanyaannya meski sudah mengantuk.
“Untuk bertahan hidup, kunang-kunang mencari tempat yang lembab, hangat dan rindang seperti ladang, rawa-rawa, sawah, hutan dan tempat lain yang ditumbuhi banyak tanaman dan pohon.” Jelas Nenek sambil berusaha menahan agar matanya tetap terbuka lebar.
“Selain itu, kunang-kunang juga harus mencari tempat yang aman agar bisa menghidari hewan dan serangga lain yang bisa memangsanya.” Nenek masih melanjutkan ceritanya.
“Tapi sekarang, jumlah kunang-kunang sudah berkurang, lebih sedikit dari yang pernah Nenek lihat.” Suara Nenek terdengar sedih, menyayangkan karena kunang-kunang sudah tidak sebanyak dulu.
“Kenapa jumlah kunang-kunang menjadi sedikit, Nek?” Aya bertanya dengan suara yang mulai memelan. Dia sudah menguap beberapa kali, matanya juga sudah sangat berat tidak bisa menahan kantuk.
“Karena tempat yang digunakan kunang-kunang untuk tinggal dan berkembang biak sudah banyak yang rusak. Rumah-rumah lebih banyak dibangun di lahan yang tadinya ditempati kunang-kunang, pohon-pohon sudah berkurang, kondisi lingkungan juga sudah mulai berubah.” Jelas Nenek.
Aya tidak merespon lagi, matanya sudah terpejam. Cerita Nenek seperti dongeng pengantar tidur.
Aya kebingungan karena tersesat saat ingin pulang ke rumah. Dia ingat arah jalan pulang, tapi kenapa saat menyusuri jalan yang biasanya dia lewati, tiba-tiba dia berada di tempat yang sangat asing. Ujung jalan yang dilewatinya sangat berbeda dari biasanya. Entah sudah berapa kali dia bolak-balik, tapi tetap saja dia tidak bisa menemukan jalan pulang. Tangisnya sudah hampir pecah, tiba-tiba dia melihat cahaya kunang-kunang yang berkelap-kelip menghampirinya. Perasaannya langsung berbunga-bunga, dia legah, ada kunang-kunang yang menemaninya menyusuri jalan yang gelap gulita dan mengantarnya pulang ke rumah.
Ratusan kunang-kunang hadir dalam bunga tidur Aya.
***
Hari ini bertepatan dengan ulang tahun Aya yang kesebelas. Cuaca sangat bagus, langit berwarna biru cerah, matahari bersinar terang, angin berhembus sepoi-sepoi, dan kicauan burung terdengar merdu. Baru beberapa menit lalu nenek selesai menjemur semua pakaian yang dicuci di sungai tadi pagi. Aya baru saja pulang dari sekolah, dia hanya masuk ke rumah untuk berganti pakaian, lalu pergi lagi bermain dengan Alin dan teman-temannya yang lain. Meski ini hari ulang tahunnya, Aya tetap saja merasa seperti tidak ada apa-apa, dia hanya menghabiskan waktu untuk belajar dan bermain seharian dengan teman-temannya, sama seperti kemarin dan hari-hari sebelumnya.
Mungkin bagi sebagian orang, hari ulang tahun merupakan hari spesial yang paling dinantikan setiap tahun. Hari penting yang disambut dengan riang gembira dan penuh sukacita. Hari yang dirayakan dengan pesta meriah bersama keluarga dan teman-teman terdekat. Hari di mana banyak orang terdekat kita melangitkan do’a-do’a kebaikan dengan tulus, berharap agar segala hal menyenangkan dan keberkahan hidup selalu menyertai kita.
Tapi bagi Aya, hari ulang tahunnya tidak sespesial, tidak sepenting, dan tidak semeriah yang orang lain rasakan. Setiap tahun, Aya tidak pernah bisa merayakan ulang tahunnya dengan sukacita. Nenek pun demikian, meski mengingat hari ulang tahun Aya dan sangat ingin melihatnya tersenyum, dia tidak bisa berbuat apa-apa. Sebab mau bagaimana pun, takdir tidak bisa diubah. Setiap tahun, di hari ulang tahun Aya, perasaan mereka tetap saja diliputi dukacita mendalam. Bagaimana bisa Aya merayakan hari kematian Ibunya dengan sukacita?
Itulah sebabnya, setiap hari ulang tahun Aya, tidak pernah ada perayaan pesta ulang tahun yang meriah, tidak ada gaun cantik, tidak ada kue, tidak ada hadiah, dan tidak ada balon. Sangat berbeda dengan hari ulang tahun teman-temannya yang lain.
Bagi Aya, hari kelahirannya adalah hari berkabung, karena bertepatan dengan hari kematian ibunya. Sejak dia dilahirkan, Aya langsung berstatus anak piatu. Ibunya menghembuskan nafas terakhir beberapa menit setelah ia terlahir ke dunia ini. Aya tidak pernah melihat bagaimana bentuk wajah dan paras Ibunya. Aya hanya mengetahui tentang Ibunya dari cerita-cerita Nenek.
Terkadang, di hari ulang tahunnya, Aya hanya bisa menangis setelah Nenek tertidur pulas. Sekuat apa pun dia di hadapan orang lain, dia tetaplah anak-anak yang masih butuh kasih sayang seorang ibu. Dia juga ingin menjadi anak yang memiliki orang tua yang lengkap, seperti Alin dan teman-temannya yang lain. Bisa merayakan ulang tahunnya dengan pesta meriah, mendapatkan kado ulang tahun, mencicipi kue ulang tahun yang dibuatkan oleh Ibu, bisa melihat dan memeluk ibu, berkeluh kesah dan bercerita tentang apa pun yang dialami di sekolah, mengadukan teman yang mengganggunya, ada yang membela saat dia bertengkar dengan temannya, menceritakan permainan kesukaannya, mengerjakan PR bersama ibu, meminta ibu memasak makanan yang disukai setiap hari, dan melakukan apa pun seperti yang dilakukan anak-anak lain bersama ibunya.
Tapi Aya tidak bisa berbuat apa-apa selain melampiaskan kesedihannya dengan menangis. Tidak ada siapa pun juga yang bisa disalahkan dengan apa yang terjadi padanya. Bersyukur masih ada nenek yang menemani dan merawatnya dengan sabar.