Selasa, 05 November 2024

Mitos Patah Hati

Siang terik, setelah menjemur pakaian yang baru saja kucuci, aku bergegas menuju warung yang berada di depan kostan teman (tempatku transit sebelum melanjutkan perjalan besok subuh).

Aku memesan makanan dan mulai mengajak si Mbah, pemilik warung, untuk berbincang. Setelah makananku siap, Mbah duduk tepat di seberangku dan menanggapi pertanyaan-pertanyaan yang baru saja kulontarkan sebelum menyantap makan siangku. Kemudian percakapan kami pun berlanjut ke topik-topik yang cukup umum.

"Kuliah di ITS ya Neng?" Tanya Mbah.

Aku tersenyum sambil menggeleng, "Tidak Mbah, sudah lulus kuliah. Saya temannya si X."

"Oh kirain kuliah di situ, kan anak kostan depan banyak yang kuliah di ITS. Jadi sudah kerja ya?

"Iya Mbah sudah." Jawabku dengan suara lembut, masih menikmati suapan makananku.


"Neng, asalnya dari mana?" tanya Mbah, tak sabar ingin mengetahui lebih banyak.

"Dari Sulawesi, Mbah" jawabku sambil tersenyum. "Saya baru tiba tadi sebelum dhuhur."

Mbah mengangguk-angguk, seolah mencerna jawaban itu. "Wah, jauh ya. Naik apa ke sini?"

"Naik kapal, Mbah. Perjalanan 3 Hari 2 malam." kataku sambil melanjutkan suapan. 

Mbah terdiam sebentar. Setelah beberapa saat, kami mulai berbicara tentang hal-hal klise, tentang pekerjaan, tentang cuaca di Surabaya dan Makassar, sampai topik yang lebih personal.

"Sudah nikah ya Neng?" Tanya Mbah tiba-tiba saat aku sibuk mengunyah.

Aku menelan makananku dan tersenyum.

"Belum Mbah," jawabku dengan perasaan yang tenang. Ya kali ini aku sudah nggak terbebani saat ada yang menanyakan perihal pernikahan. 

Mbah mengangguk sambil menatapku dengan penuh rasa ingin tahu. "Apa pernah patah hati, ya Neng?" tanyanya, masih penasaran.

Aku tertawa kecil, tidak bisa menahan geli. "Nggak kok, Mbah," jawabku sambil tertawa. Rasanya seperti dejavu. Momen yang sama sekitar 2 atau 3 tahun lalu, saat aku makan siang di kantin kantor BKPSDM. Pemilik warung di sana juga sempat menanyakan hal yang sama, mengira aku telat menikah karena patah hati atau ditinggal nikah. 

Ah sepertinya mitos patah hati yang membuat orang mati rasa dan gak mau nikah karena trauma atau masih terjebak di masa lalu masih cukup populer, ya?

Aku jadi penasaran, apa emang betul patah hati setraumatik itu? 

Bagi yang pernah patah dan trauma karena cinta, semoga Allah menyembuhkan dan menggantinya dengan yang lebih baik. 

Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Dia tahu kapan waktu yang tepat untukmu, dan Dia akan memberimu cinta yang lebih baik, yang tepat sesuai yang kau butuhkan.

Rabu, 18 September 2024

Waktu untuk Pulih



Hari ini rasanya sangat melelahkan. Energiku seperti terkuras habis. Padahal tadi pagi, aku hanya menghabiskan waktu sekitar 3 jam di luar rumah dan 11 menit untuk lari 8 putaran di ruang terbuka hijau, samping lapangan Syekh Yusuf. 

Apa karena tubuhku kaget? 

Kok tiba-tiba lari padahal sudah lama gak olahraga. Terakhir renang pun dua bulan lalu. Tapi anehnya kakiku gak sakit.

Apa karena lelah pikiran saja?

Aku juga lebih banyak diam dan moodku berantakan. Akhir-akhir ini ada hal yang menyita pikiranku dan membuatku gak minat ngerjain apa pun dan malah membuatku kewalahan. 

Apa aku butuh waktu untuk beristirahat dan memulihkan diri?

Selasa, 27 Agustus 2024

Allah Mengabulkan Do'a Tanpa Disangka

"Kak, nyangka gak sih bakal lolos oral presentation?" Tanya seorang teman yang duduk tepat di sebelah kiriku setelah Kepala BBPK Ciloto menyebut nama-nama yang abstraknya berhasil lolos review dan diundang menjadi peserta 11th NSCE (National Scientific Conference on Epidemiology) Tahun 2024 di Bandung.

"Gak nyangka juga sih." Aku menjawab sambil menyimak rangkaian seremoni penutupan pelatihan FETP Frontline.

"Tapi, sejak awal selalu positif thinking siih. Intinya yakin dan percaya sama Allah, insyaAllah bisa menyelesaikan abstraknya dengan baik." Lanjutku sambil mengingat-ingat momen di mana aku melalui kesulitan selama proses penyelidikan kasus sampai berhasil menulis abstrak dalam jangka waktu hanya sekitar sepekan lebih. Tentu ini karena pertolongan Allah, Allah yang menggerakkan hati teman-temanku untuk menjadi perantara dalam membantuku menyelesaikan pengumpulan data sampai menerjemahkan abstrakku ke bahasa inggris.

"Meski senang bisa lolos, aku juga khawatir nih, apa bisa ya nanti presentasinya pakai bahasa inggris?" Suaraku terdengar memelas, sudah cemas duluan membayangkan gimana nanti presentasinya. 

"Insyaallah pasti bisa! Kakak kan sudah terpilih, artinya lebih dipercaya dan bisa diandalkan dibandingkan yang lain." Balasnya meyakinkanku.

Aku terdiam merenungi kata-katanya. "Sungguh Takdir Allah gak pernah salah, insyaAllah aku bisa melewatinya dengan baik, yang penting mau mengusahakannya dan belajar lebih giat dari yang lain." batinku meyakinkan diri sendiri.

***

"Mbak Athifah percaya gak sih bisa lolos?" Celetuk teman lain ~yang namanya juga disebut sebagai salah satu peserta yang lolos~ sambil menertawakan diri sendiri karena takjub dan sama sekali gak menyangka bisa menjadi salah satu peserta terpilih.

"Gak percayalah mbak! Kok bisa ya kita yang lolos?" Balasku dengan tawa yang lepas.

"Tapi ini kan sudah takdirnya Allah ya mbak, maunya Allah. Jadi meski gak nyangka dan rasanya di luar nalar, seharusnya kita yakin ini pasti skenario terbaikNya dan insyaAllah kita mampu melaluinya." Sambungku sok bijak untuk menenangkan diri sendiri.

Jumat, 26 Juli 2024

Mimpi yang Kita Perjuangkan



2024 adalah tahun yang penuh ambisi. Sudah 7 bulan berlalu, masih banyak dream list dan hal-hal yang tampaknya tidak mungkin, tapi masih sedang kuusahakan agar bisa terwujud di tahun ini. Meski harus melaluinya dengan banyak komentar yang kurang menyenangkan dari orang lain.

"Tifah jangan terlalu sibuk dengan pekerjaan, ingat umurmu, usahakan nikah dulu." Celetuk seorang teman saat aku baru pulang dari luar kota sehabis mengikuti pelatihan.

"Kak doakan saja ya, siapa tahu saat saya sibuk ke mana-mana,  bisa ketemu jodohnya di sana." Jawabku dengan senyum yang sedikit getir.

Komentar, pernyataan, bahkan pertanyaan orang lain yang  berusaha kuabaikan, tetap saja kadang  masih membuatku merasa rendah diri. Tidak bisa kupungkiri, aku juga manusia biasa yang kadang bisa rapuh dan terprovokasi omongan orang lain. 

Bahkan aku sempat minder dan mengecilkan mimpiku sendiri karena selalu saja ada yang membandingkannya dengan  statusku yang belum menikah. Padahal jodoh termasuk salah satu rezeki yang berada di luar kendali kita kan? Toh mereka juga tidak pernah mau tahu seberapa besar usaha kita berproses menuju pernikahan kan? Mereka juga tidak peduli saat kita melalui banyak kegagalan kan? 

Bagiku sebuah pernikahan hanya salah satu dari banyaknya dream list yang kuusahakan bisa terwujud tahun ini. Meski nikahnya belum bisa, setidaknya ada mimpi lain yang bisa kuperjuangkan dengan lebih baik tanpa harus mengharapkan siapa-siapa, kecuali Allah. Dan nyatanya takdir Allah memang jauh lebih indah, ada kesempatan-kesempatan lain yang  Allah berikan dengan sangat mudah, ada mimpi lain yang Allah wujudkan dengan sangat menakjubkan. 


Rabu, 17 Januari 2024

New Chapter Begin


Dear me,
Maafkanlah siapapun yang pernah menorehkan luka, agar hatimu lebih lapang.

Lepaskanlah segala ketakutan yang meredupkan mimpimu selama ini, agar kamu bisa menjalani hidup dengan lebih berani.


Dear me,

Lihat binar matamu dengan lekat, mata yang sedemikian rupa menahan tangis di depan orang lain, lihat jemari kecilmu yang telah bekerja dengan giat tiap hari,  lihat tubuh mungilmu yang sudah bertahan  menghadapi segala musim. Terimakasih sudah berusaha sekuat tenaga.  Terimakasih sudah menjaga dan menghargai dirimu dengan baik, I'M PROUD OF YOU!


Dear me,

Jangan terlalu menuruti ketakutanmu, jangan terlalu mengkhawatirkan masa depanmu. Aku yakin kamu bisa mengusahakan dan melakukan yang terbaik  dalam hidupmu, meskipun hasil akhirnya tentu di luar kendalimu.  Setidaknya kamu sudah mau mencobanya, soal hasil biar Allah saja yang atur, toh apapun yang Allah takdirkan tak pernah keliru kan?


Dear me,

Jangan menyerah ya! Mulai hari ini, Rabu, 17 Januari 2024, yuk kita sama-sama berjuang! Mari kita jalani hidup kita tahun ini dengan ugal-ugalan.



Dear me,

Kuharap setahun ke depan pada 17 Januari 2025 kita bertemu kembali dengan versi terbaikmu, menjadi perempuan yang jauh lebih bahagia dari saat ini. 


Semoga saat itu kamu sudah lebih mengenal dirimu sendiri, berhasil meningkatkan value dan potensimu, sehat lahir batin, finansial stabil, target ibadah bisa tercapai: shalat tepat waktu, tahajjudnya lebih  konsisten, ngajinya lebih rutin, puasa sunnah senin kamisnya juga sudah dibiasakan, lebih banyak bersyukur daripada ngeluhnya, menemukan pasangan yang terbaik, menjadi awardee LPDP dan melanjutkan studi S2 Epidemiologi Lapangan.




#setahundarisekarang #CCBP

Minggu, 29 Oktober 2023

Tentang Do'a


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ بِأَنِّي أَشْهَدُ أَنَّكَ أَنْتَ اللَّهُ، لاَ إِلَـٰهَ إِلاَّ أَنْتَ، اَلأَ حَدُ الصَّمَدُ، اَلَّذِيْ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ، وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدُ

"Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dengan bersaksi bahwa sesungguhnya Engkau adalah Allah, tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Engkau, yang Maha Esa, tempat bergantung segala sesuatu, yang tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun setara dengan-Mu."


🤍🤍🤍

Ya Rabb, yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang...

Sungguh, aku sangat malu padaMu ya Rabb, kadang aku masih suka lupa bahwa segala yang Engkau takdirkan untukku adalah yang terbaik. 

Takutku masih terlalu berlebihan. Aku masih suka mengkhawatirkan sesuatu yang berada di luar kendaliku. 

Aku masih suka ngeyel, meminta sesuatu yang akhirnya melukai diriku sendiri. 

Aku terlalu keras kepala ya Rabb, meminta dengan khusyuk sesuatu yang aku sendiri tidak yakin apakah memang betul itu yang terbaik untukku? 

Aku sadar ya Rabb, caraku keliru. Aku tidak ingin lagi memaksakan sesuatu yang tak kuketahui kebaikannya ya Rabb. 

Engkau tentu yang Maha Mengetahui, jauh lebih tahu apa yang paling baik untuk hidupku di duniaMu yang fana ini atau pun untuk masa depanku di akhiratMu kelak yang kekal abadi. 

Akhirnya, hanya padaMu kuserahkan segala urusanku.

Ya Rabb, sungguh tak ada yang bisa kuperbuat selain mengharapkan kemudahan dariMu. 

Tak ada pertolongan yang bisa kuharapkan selain dariMu ya Rabb. 

Lapangkanlah hatiku ya Rabb, teguhkan ia dalam agamaMu, palingkan ia dari sesuatu yang melalaikan dan mudahkanlah segala apapun yang Engkau ridhai untukku. 

Aku yakin ya Rabb, ada hadiah terbaik yang Engkau siapkan untukku. 



Senin, 14 Agustus 2023

PadaMu Aku Berserah



Ya Allah di titik ini aku ikhlas dan berserah.

Lapangkanlah hatiku untuk menerima segala sesuatu yang memang ditakdirkan untukku.

Serta palingkanlah hatiku terhadap sesuatu yang bukan takdirku.


Selasa, 04 April 2023

Cahaya Kunang-Kunang #3



Nenek tidak langsung menjawab, dia terdiam beberapa detik. Keningnya berkerut, matanya menatap kosong ke arah daun rumbia yang tersusun rapi di langit-langit rumah. Dia berjerih payah memutar otak, mengira-ngira apa yang harus  dia katakan untuk menjawab pertanyaan Aya. 

 

“Nenek juga belum pernah melihat seperti apa bentuk rumah kunang-kunang.” Akhirnya Nenek bersuara setelah menimbang-nimbang beberapa saat. Lalu Nenek perlahan menggeser badannya ke kiri agar bisa tidur menyamping, melihat ke arah Aya.

 

“Sepertinya kunang-kunang tidak memiliki rumah, tidak seperti lebah yang bisa membangun rumahnya sendiri dan memiliki sarang yang ditempati untuk tinggal dan bekembang biak.” Nenek melanjutkan jawabannya.

 

“Oh seperti itu ya Nek.” Aya juga menggeser badannya, berbaring menyamping ke arah kanan, menghadap ke Nenek. Dia siap menyimak cerita selanjutnya.

 

“Nenek cuma pernah melihat kunang-kunang terbang bebas di depan rumah, di sawah, di kebun, di ladang, di hutan, di...” Nenek berhenti, berusaha mengingat-ingat di mana lagi dia pernah melihat kunang-kunang terbang. 

 

“Seruuu sekaliiii! Asyik ya Nenek bisa lihat kunang-kunang di mana-mana.” Sahut Aya antusias.

 

Tanpa sadar Nenek tersenyum hangat, mengingat kenangan indah di masa kecil  bersama teman-temannya. Betapa bahagianya mereka saat melihat  kunang-kunang  terbang  dengan cahayanya yang berkelap-kelip. Setiap malam, sepulang dari Shalat Magrib di Masjid, nenek selalu bermain bersama teman-temannya dan mengejar segerombolan kunang-kunang yang terbang menembus kegelapan. 

 

Tiba-tiba Aya mengambil sarung yang terlipat di sisi kanan nenek. Lamunan Nenek pun langsung buyar. Udara dingin mulai terasa menusuk ke tulang, berhembus masuk melalui celah-celah dinding rumah, Nenek refleks menarik sarung yang melorot di kakinya untuk menutupi seluruh badan.

 

“Jadi, kunang-kunang bisa hidup di mana pun ya, Nek?” Aya lanjut bertanya setelah dia menyelimuti badannya dengan sarung. 

 

“Iya betul, kunang-kunang hidup bebas di alam, tapi tidak semua lokasi bisa ditempati kunang-kunang untuk hidup.” Lanjut Nenek sambil mengucek mata.

 

“Jadi kunang-kunang juga suka memilih-milih tempat yang bagus untuk ditinggali ya, Nek?” Tanya Aya sambil menguap. Dia masih melanjutkan pertanyaannya meski sudah mengantuk. 

 

“Untuk bertahan hidup, kunang-kunang mencari tempat yang lembab, hangat dan rindang seperti ladang, rawa-rawa, sawah, hutan dan tempat lain yang ditumbuhi banyak tanaman dan pohon.”  Jelas Nenek  sambil berusaha menahan agar matanya tetap terbuka lebar.

 

“Selain itu, kunang-kunang juga harus mencari tempat yang aman agar bisa menghidari hewan dan serangga lain yang bisa memangsanya.” Nenek masih melanjutkan ceritanya.

 

“Tapi sekarang, jumlah kunang-kunang sudah berkurang, lebih sedikit dari yang pernah Nenek lihat.” Suara Nenek terdengar sedih, menyayangkan karena kunang-kunang sudah tidak sebanyak dulu. 

 

“Kenapa jumlah kunang-kunang menjadi sedikit, Nek?” Aya bertanya dengan suara yang mulai memelan. Dia sudah menguap beberapa kali, matanya juga sudah sangat berat tidak bisa menahan kantuk.

 

“Karena tempat yang digunakan kunang-kunang untuk  tinggal dan berkembang biak sudah banyak yang rusak. Rumah-rumah lebih banyak dibangun di lahan yang tadinya ditempati kunang-kunang, pohon-pohon sudah berkurang, kondisi lingkungan juga sudah mulai berubah.” Jelas Nenek.

 

Aya tidak merespon lagi, matanya sudah  terpejam. Cerita Nenek seperti dongeng pengantar tidur. 

 

Aya kebingungan karena tersesat saat ingin pulang ke rumah.  Dia ingat arah jalan pulang, tapi kenapa saat menyusuri jalan yang biasanya dia lewati, tiba-tiba dia berada di tempat yang sangat asing. Ujung jalan yang dilewatinya sangat berbeda dari biasanya. Entah sudah berapa kali dia bolak-balik, tapi tetap saja dia tidak bisa menemukan jalan pulang. Tangisnya sudah hampir pecah, tiba-tiba dia melihat cahaya kunang-kunang yang berkelap-kelip menghampirinya. Perasaannya langsung berbunga-bunga, dia legah, ada kunang-kunang yang menemaninya menyusuri jalan yang gelap gulita  dan mengantarnya pulang ke rumah. 

 

Ratusan kunang-kunang hadir dalam bunga tidur Aya.

 

***

 

Hari ini bertepatan dengan ulang tahun Aya yang kesebelas. Cuaca sangat bagus, langit berwarna biru cerah, matahari bersinar terang, angin berhembus sepoi-sepoi, dan kicauan burung terdengar merdu. Baru beberapa menit lalu nenek selesai menjemur semua pakaian yang dicuci di sungai tadi pagi. Aya baru saja pulang dari sekolah, dia hanya masuk ke rumah untuk berganti pakaian, lalu pergi lagi bermain dengan Alin dan teman-temannya yang lain. Meski ini hari ulang tahunnya, Aya tetap saja merasa seperti tidak ada apa-apa, dia hanya menghabiskan waktu untuk belajar dan bermain seharian dengan teman-temannya, sama seperti kemarin dan hari-hari sebelumnya.

 

Mungkin bagi sebagian orang, hari ulang tahun merupakan hari spesial yang paling dinantikan setiap tahun. Hari penting yang disambut dengan riang gembira dan penuh sukacita. Hari yang dirayakan dengan pesta meriah bersama keluarga dan teman-teman terdekat. Hari di mana banyak orang terdekat kita melangitkan do’a-do’a  kebaikan dengan tulus, berharap agar segala hal menyenangkan dan keberkahan hidup selalu menyertai kita. 

 

Tapi bagi Aya, hari ulang tahunnya tidak sespesial, tidak sepenting, dan tidak semeriah yang orang lain rasakan. Setiap tahun, Aya tidak pernah bisa merayakan ulang tahunnya dengan sukacita. Nenek pun demikian, meski mengingat hari ulang tahun Aya dan sangat ingin melihatnya tersenyum, dia tidak bisa berbuat apa-apa. Sebab mau bagaimana pun, takdir tidak bisa diubah. Setiap tahun, di hari ulang tahun Aya, perasaan mereka tetap saja diliputi dukacita mendalam. Bagaimana bisa Aya merayakan hari kematian Ibunya dengan sukacita? 

 

Itulah sebabnya, setiap hari ulang tahun Aya, tidak pernah ada perayaan pesta ulang tahun yang meriah, tidak ada gaun cantik, tidak ada kue, tidak ada hadiah, dan tidak ada balon. Sangat berbeda dengan hari ulang tahun teman-temannya yang lain.

 

Bagi Aya, hari kelahirannya adalah hari berkabung, karena bertepatan dengan hari kematian ibunya. Sejak dia dilahirkan, Aya langsung berstatus anak piatu. Ibunya menghembuskan nafas terakhir beberapa menit setelah ia terlahir ke dunia ini. Aya tidak pernah melihat bagaimana bentuk wajah dan paras Ibunya. Aya hanya mengetahui tentang Ibunya dari cerita-cerita Nenek. 

 

Terkadang, di hari ulang tahunnya, Aya hanya bisa menangis setelah Nenek tertidur pulas. Sekuat apa pun dia di hadapan orang lain, dia tetaplah anak-anak yang masih butuh kasih sayang seorang ibu. Dia juga  ingin menjadi anak yang memiliki orang tua yang lengkap, seperti Alin dan teman-temannya yang lain. Bisa merayakan ulang tahunnya dengan pesta meriah, mendapatkan kado ulang tahun, mencicipi kue ulang tahun yang dibuatkan oleh Ibu, bisa melihat dan memeluk ibu, berkeluh kesah dan bercerita tentang apa pun yang dialami di sekolah, mengadukan teman yang mengganggunya, ada yang membela saat dia bertengkar dengan temannya, menceritakan permainan kesukaannya, mengerjakan PR bersama ibu, meminta ibu memasak makanan yang disukai setiap hari, dan melakukan apa pun seperti yang dilakukan anak-anak lain bersama ibunya.

 

Tapi Aya tidak bisa berbuat apa-apa selain melampiaskan kesedihannya dengan menangis. Tidak ada siapa pun juga yang bisa disalahkan dengan apa yang terjadi padanya. Bersyukur masih ada nenek yang menemani dan merawatnya dengan sabar. 

 

 

 


Senin, 03 April 2023

Cahaya Kunang-Kunang #2



Setelah melihat kunang-kunang, Aya dan Alin berjalan pelan-pelan, meraka masih memperhatikan sekeliling, menengok ke kiri dan ke kanan, berharap masih ada kunang-kunang lain yang melintas di depan mereka. 

 

Mereka berdua juga menanyakan banyak hal tentang kunang-kunang kepada Nenek. Tak heran jika perjalanan dari sawah ke rumah yang biasanya bisa ditempuh selama lima menit dengan berjalan kaki, menjadi dua kali lipat lebih lama karena keasyikan bercerita tentang kunang-kunang.

 

Nenek mengangkat tangan kirinya lebih tinggi saat menyadari cahaya dari lampu minyak yang dibawanya lebih redup, “ternyata minyak tanahnya sudah  hampir habis.” Gumam Nenek.

 

Aya dan Alin juga mengedarkan pandangan ke arah lampu minyak yang di pegang Nenek, mereka serius memerhatikan cahaya lampu yang meredup. 

 

Syukur jalanan mulai terlihat lebih terang, beberapa rumah sudah tampak di sebelah kanan jalan. Rumah pertama adalah rumah Alin, berjarak sekitar 150 meter dari tempat mereka berdiri, rumah Nenek dan Aya berada tepat di sebelahnya.  

 

“Ayo kita berlomba lari! kita buktikan siapa yang bisa lebih cepat sampai di depan rumahku.” Tantang Alin penuh semangat.

 

Tanpa berpikir panjang, Aya langsung menerima tantangan Alin dengan berani, “siapa takut! Ayo kita mulai, satu… dua… tiga…”  

 

Aya dan Alin langsung berlari secepat mungkin. Mereka berkejaran sambil tertawa girang. Dua sejoli itu sama-sama mempunyai tekad yang kuat, tidak ada yang mau mengalah. 

 

Tak heran jika ada yang mengatakan bahwa teman adalah cerminan diri kita. Sebab nyatanya, seseorang akan cenderung memiliki karakter dan kebiasaan yang mirip dengan orang-orang terdekat yang biasa bersamanya. Begitu pun Aya dan Alin, mereka memiliki banyak kesamaan karena sudah lama berteman. Meski pun bukan saudara kandung, mereka seperti pinang di belah dua.

 

Nenek yang tertinggal di belakang hanya tertawa geli, “ada-ada saja kelakuan mereka berdua.” Batinnya sambil menggelengkan kepala melihat mereka berlari terbirit-birit. Nenek turut mempercepat langkah kakinya, tapi meski pun sudah berusaha, tetap saja ia tidak bisa menyamai kecepatan dua anak itu karena harus berjalan dengan menyeret tongkat kayunya.

 

Saat Nenek tiba di depan rumah Alin, pintu rumah masih belum terbuka. Alin dan Aya masih menunggu di depan rumah, meraka duduk nyaman di kursi kayu panjang di teras rumah sambil bernyanyi riang. 

 

“Kalian sudah mengetuk pintu?” Tanya Nenek kepada Aya dan Alin.

 

“Belum, Nek.” Jawab Aya dengan cepat.

 

“Kami menunggu Nenek.” Lanjut Alin menimpali.

 

Nenek bergegas memberi salam dan mengetuk pintu rumah Alin. 

 

Tak lama kemudian, Mama Alin membuka pintu, senyum mengembang di wajahnya saat melihat Nenek, Aya dan Alin. Setelah mengobrol beberapa saat, Nenek dan Aya langsung berpamitan untuk pulang. 

 

“Terimakasih Nenek sudah menjemput kami di sawah.” Ujar Alin sambil melambaikan tangan kanannya saat Nenek dan Aya beranjak pulang.

 

***

 

Sekitar setengah jam setelah tiba di rumah, Nenek dan Aya menikmati makan malam mereka. Aya makan dengan lahap. Setelah makanan di piringnya hampir habis, dia menambah lagi untuk kedua kalinya. Aya menyendok semua makanan yang dihidangkan Nenek ke piringnya, nasi putih, sayur bening, tahu, tempe dan ikan goreng. 

 

Sudah dua kali Aya menambah makanannya, sedangkan makanan Nenek di piring masih belum habis-habis juga. Gigi nenek sudah tidak lengkap, jadi butuh waktu yang lebih lama untuk mengunyah makanannya dengan baik. 

 

“Makan yang banyak, Nak. Tidak usah terburu-buru, makanannya dikunyah pelan-pelan supaya tidak tersedak.” Pesan Nenek saat melihat Aya menyuap makanannya dengan sangat lahap.

 

Aya tidak pernah memilih- milih makanan, dia selalu lahap dan menghabiskan apa pun yang dimasak oleh Nenek. Bagi Aya, masakan Nenek adalah makanan terlezat yang ada di dunia ini. 

 

“Makanannya sangat enaaak, apa pun yang Nenek masak, Aya sanggung menghabisi semuanya.” Puji Aya setelah makanan di piringnya habis tak tersisa. 

 

Mendengar pujian Aya, Nenek tersenyum sumringah memamerkan gigi ompongnya. Nenek mengunyah makanannya sampai habis dengan perasaan bahagia. 

 

Setelah makan malam dan bersih-bersih. Nenek dan Aya bersiap untuk tidur, mereka menggelar tikar di kamar, melapisinya dengan sarung dan meletakkan bantal di atasnya.  Mereka berbaring dan mengobrol panjang lebar tentang apa pun sebelum tidur. 

 

“Nek, kayaknya enak ya tinggal di rumah dinding bata seperti rumah Alin.” Celetuk Aya.

 

“Pasti rasanya lebih hangat kalau malam dan tidur pun bisa lebih nyenyak.” Sambungnya.

“Meski tidak sebagus rumah Alin, rumah kita juga nyaman. Masih bisa ditempati untuk berteduh dari hujan dan panas.” Nenek menanggapi dengan bijak.

 

“Iya juga ya Nek.” Aya mengangguk, setuju dengan ucapan Nenek.

 

“Coba kamu pikirkan, orang-orang di luar sana yang tidak punya rumah. Pasti mereka sangat kesulitan mencari tempat berteduh dan tidak bisa istirahat dengan nyaman.”

 

Aya menyimak cerita-cerita Nenek, ia jadi lebih bersyukur dengan apa pun yang dimilikinya. Bagaimana pun kondisi mereka, tentu jauh lebih baik dibandingkan dengan orang-orang yang tidak punya rumah.

 

Tiba-tiba, Aya teringat dengan kunang-kunang yang mereka temui tadi.

 

“Kalau kunang-kunang tinggalnya dimana ya, Nek? Apa mereka juga punya rumah?” Tanya Aya penasaran.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Cahaya Kunang-Kunang #1

 


Beberapa pasang kaki kecil melangkah dengan riang menyusuri pematang yang berada di antara bentangan padi hijau yang mulai menguning. Mereka terlihat sangat gembira. Berjalan berbaris dengan langkah cepat. Mereka berusaha menyeimbangkan tubuh dengan merentangkan kedua tangan sejajar bahu agar tidak terjatuh. Beberapa anak memegang gelas plastik dan jaring untuk menangkap belalang. Sesekali mereka berhenti, mengamati tingkah belalang yang melompat-lompat lincah di dahan padi yang tersapu semburat senja. 

 

“Berhasil! Dapat satu belalang.” Aya, Juwita Cahaya, berseru riang sambil melambaikan tangan kanannya yang menggenggam erat jaring. Teman-temannya mendekat, penasaran ingin melihat.

 

Belalang yang terperangkap berusaha mencari celah agar bisa bebas dari jaring. Melihat belalang yang bersusah-payah, gelak tawa mereka menggema, lalu sayup-sayup tenggelam dalam alunan merdu suara jangkrik, nyanyian tonggeret, kicauan burung, dan lantunan shalawat yang terdengar samar dari menara masjid. Suara khas di pedesaan menjelang senja, terdengar sangat damai dan menenangkan hati.

 

Sudah dua jam mereka bermain, tapi belum ada yang bergegas pulang. Mereka masih asyik saling mengejar dan berlomba menangkap belalang.

 

“Ayaaa, belalangnya lepaaaas.” Teriak Alina Kemala setelah menyadari gelas plastik di genggaman kecilnya sudah kosong, matanya menilik dahan-dahan padi di kiri kanannya, mencoba mencari belalalangnya yang lepas. 

 

“Ayoooo buruan cari lagi, Alin!” Ujar Aya sambil menoleh ke arah Alin. 

 

Beberapa detik kemudian, Aya mengangkat gelas plastik di tangannya sejajar dengan mata bulatnya, ia mengawasi dengan cermat, “syukurlah, masih ada.” Gumamnya setelah melihat dua ekor belalang tangkapannya masih bertengger manis di dalam gelas plastik. Lalu pandangannya kembali menyapu hamparan sawah yang luas. 

 

Teman-temannya yang lain sudah tidak terlihat, hanya tertinggal Juwita Cahaya dan Alina Kemala yang masih sibuk mencari belalang.

 

“Cepat lariiii Alin, yang lain sudah tidak ada!” Seru Aya saat menyadari teman-temannya yang lain sudah pulang. 

 

Dengan sigap Alin mempercepat langkahnya, tak peduli lagi dengan belalangnya yang sudah melarikan diri tanpa jejak.

 

Matahari di ufuk barat sudah hilang tertelan cakrawala, terbenam di antara hamparan sawah. Aya menengadahkan kepala, “langitnya sangat indaaaaah!” Aya berdecak kagum, terpukau dengan warna langit senja. 

 

“Waaaah warnanya cantik sekaliiiii.” Lontar Alin tak kalah takjub.

 

Langit senja di desa memang selalu memukau mata dan sangat menakjubkan, perpaduan warna jingga kebiruan dengan semu merah muda dan ungu terlihat sangat indah. 

 

“Ayaaaa cepat pulaaaang, sudah magriiiib. Banyak setan berkeliaraaan!” Nenek Aya berteriak dari ujung pematang sawah, suaranya terdengar agak serak. Dia berdiri membungkuk, tangan kanannya yang penuh keriput menggenggam erat tongkat kayu untuk menjaga keseimbangan, sedangkan tangan kirinya menenteng lampu minyak.

 

“Tunggu Neeek!” Aya menjawab dengan lantang.

 

Gadis kecil itu berlari lebih cepat, tanpa sadar kakinya memijak tanah yang licin, ia hampir saja terjerambab. Beruntung Alin berdiri tepat di belakangnya, sigap menangkap pergelangan tangannya sebelum ia merosot ke bawah. 

 

“Aduuuh hampir saja kakiku masuk ke lumpur.” Keluh Aya panik.

 

“Hati-hati kalau jalan, syukur kakimu tidak terkilir.” Tambah Alin. Dia sudah seperti seorang ibu yang mengkhawatirkan anaknya.

 

Nenek sudah menunggu mereka selama sepuluh menit, dari ekspresi wajahnya, jelas ia sangat cemas.

 

“Kalian ini, suka lupa waktu kalau bermain. Sudah nenek ingatkan, harus pulang ke rumah sebelum magrib.” Gerutu nenek setelah Aya dan Alin berada di dekatnya. 

 

“Maaf, Nek, kami terlalu asyik menangkap belalang.” Aya menjawab dengan nada suara yang terdengar kikuk. Sedangkan Alin hanya diam tak bergeming. Mereka tidak berani membantah karena sadar diri telah berbuat salah. Baru kali ini mereka melanggar pesan nenek karena keasyikan bermain sampai lupa waktu. 

 

“Lain kali, kalian tidak boleh seperti ini lagi.” Pinta Nenek khawatir.

 

“Baik Nek, kami tidak akan mengulanginya.” Tutur Aya dengan sangat menyesal.

 

Juwita Cahaya adalah anak yang ceria dan penurut, dia satu-satunya cucu Nenek, sedangkan Alina Kemala adalah teman bermainnya, mereka sudah seperti dua sejoli yang selalu bersama sejak lahir, hari ulang tahu mereka hanya selisih 2 hari.  Rumah mereka juga berdekatan, berjarak 10 meter dan diantarai dengan pohon mangga. Namun nasib mereka sedikit berbeda, sejak usia 3 bulan, Aya tinggal berdua dengan Nenek di rumah berdinding anyaman rotan dan beratap rumbia, sedangkan Alin tinggal berempat dengan kedua orang tua dan kakak laki-lakinya di rumah berdinding bata dan beratap seng.

 

Mereka pulang ke rumah, berjalan beriringan ditemani kemeriahan paduan suara jangkrik dan tonggeret. Alin di sebelah kiri nenek dan Aya di sebelah kanan. Sepanjang jalan menuju ke rumah, suasana di sekeliling terlihat temaram, satu-satunya sumber cahaya hanya dari lampu minyak yang dipegang nenek, sebab tidak ada rumah penduduk, hanya ada pohon kelapa, pohon pisang, pohon mangga, pohon jambu, pohon bambu dan beragam pohon lain yang entah apa namanya.

 

Aya mengedip-ngedipkan mata,  “Nek, apa itu yang menyala?” Jari mungilnya menunjuk ke arah cahaya yang berkelap-kelip di antara pepohonan, terbang mengitari udara yang mulai terasa dingin. 

 

“Apa itu lampu terbang?.” Celetuk Alin dengan polos.

 

Aya hanya terkekeh mendengarnya.

 

“Itu sejenis serangga, namanya kunang-kunang.” Nenek menjelaskan dengan suara memelan.

 

“Waaah kunang-kunang, cantik sekali!” Ungkap Aya dengan takjub, intonasi suaranya terdengar bahagia. 

 

“Aku baru tahu ada serangga yang membawa lampu.” Beber Alin heran.

 

Ini pertama kalinya mereka melihat kunang-kunang, serangga yang bisa menyala, memendarkan cahaya. 

 

“Dulu waktu Nenek seusia kalian, jumlah kunang-kunang jauh lebih banyak. Terlihat sangat indah saat mereka berterbangan di depan rumah setelah magrib.” Nenek mengenang masa kecilnya.

 

“Kata orang tua dulu, kunang-kunang itu kukunya orang meninggal.” Lanjut Nenek.

 

“Kukunya orang meninggal? Ih sereeem.” Aya bergidik ketakutan.

 

“Waktu pertama kali diberitahu seperti itu, Nenek percaya kalau itu kuku orang meninggal.” Nenek tertawa mengingat kepolosannya, “Setelah dewasa, Nenek baru tahu, ternyata itu hanya mitos.” Beber Nenek.

 

 

“Waaah kirain betulan kukunya orang meninggal. Ternyata hanya mitos.” Jelas Alin legah setelah mendengar cerita Nenek.

 

“Beruntung ya kita  masih bisa melihat kunang-kunang.” Terang Aya dengan senyum sumringah.