"Semoga perasaan-perasaan yang kalian titipkan
bisa mempertemukan kita untuk kali kedua"
Lirung, 24 Juli 2013
Kau tahu rasanya saat pertama kali menemukan hal
yang paling dirindukan? Tentu kau akan girang karena bahagia atau mungkin
dadamu terasa sesak karena haru. Ya, setidaknya seperti itulah perasaanku saat
menemukan masjid dan bisa mendengarkan lantunan adzan melalui pengeras suara setelah
sebulan “terasingkan”.
Setibanya di depan masjid, anak laki-laki berkaos
kuning dengan sarung shalatnya, menyambut kami dengan pertanyaan dan ocehan
polosnya,
“Ada yang
bukan agama Islam”
“memang kenapa?”
“yang bukan
Islam tidak boleh masuk”
“oh iya,
semuanya Islam” aku menjawab setelah memastikan teman disekitarku semuanya
muslim.
“perempuan
juga jangan masuk lewat sini”
“terus kalau
saya mau masuk? Lewat mana?”
“Lewat pintu
yang di samping”
“jalannya
lewat mana?”
“di situ” dia
menunjuk arah jalan yang tertutup tirai.
“ooh, iya”
aku mengangguk dan bergegas meninggalkannya. Anak itu betul-betul cerewet ya,
batinku.
Setelah shalat maghrib, anak itu kembali mengoceh panjang lebar dan memamerkan buku
cerita tentang siksa nereka.
Sebelum kembali ke dermaga, kami berpamitan dengan ibu yang menyiapkan
hidangan buka puasa dan anaknya si cerewet yang belakangan baru kutahu bernama
Najar.
“kakak…
kakak..” si anak cerewet itu berteriak memanggilku.
“ya… saya?”
aku menoleh sambil mengarahkan telunjuk ke wajahku dengan ekspresi heran.
“iya, ini kak”
dia menyodorkan lipatan kertas ke tanganku.
“ini apa?”
“jangan dibuka
di sini” dia berpesan dengan malu.
Tapi berhubung karena penasaran, jadilah aku
membelakanginya lalu kertasnya kubuka di tempat.
Isi kertasnya hanya ada dua kata: Kakak & Najar serta gambar love dibingkai
persegi.
Jleb! Eh? Ini surat cinta ya? Ternyata anak ini
pandai “bertingkah manis” juga ya.
Aku berbalik dan tersenyum ke arahnya.
Miangas, 15 Juli 2013
“kak athifah kemarin kenapa
tidak ke posko?” tanyanya dengan nada kecewa
“iya, kakak kemarin seharian
tinggal di rumah.”
“Saya cari-cari tapi tidak ada.
Padahal saya mau main. Karena tidak ada kak athifah, saya jadi sendirian, tidak
ada teman main”
“loh? Kakak Mawar tidak diajak
main? ‘Kan banyak teman-teman lain”
“tapi saya lebih suka main sama
kak athifah”
“maaf ya… kemarin kakak malas
keluar rumah. Lain kali kamu yang ke rumah ya, biar mainnya di rumah saja”
“yau maapulunu kak athifah”
Aku hanya diam mendengarnya
“kak athifah tahu artinya?” dia
bertanya untuk memastikan aku paham maksud ucapannya.
“iya, kakak tahu” aku
menjawabnya sambil tersenyum.
“aku cinta kak athifah” dia
kembali mengulangnya dalam bahasa Indonesia.
Aku membalasnya dengan senyuman.
“Dari semua kakak kakak, aku
paling suka kak athifah” ungkapnya.
“kakak juga suka sama santa”
Santa adalah anak perempuan kelas 4 SD yang kutemui
saat perjalanan menuju Miangas, 23 juni 2013 di K.M.Meliku Nusa. Katanya dia dari Bitung menemani kakeknya menjual kopra. Anak manis yang mau bersusah
payah mencarikanku kardus bekas untuk kupakai alas tidur. Dia tipikal anak yang
pencemburu, saya paling suka melihat ekspresinya saat melihat teman-temannya
yang lain berebut untuk bermain denganku.“saya
‘kan yang lebih duluan kenal sama kak athifah, waktu di kapal kakak tidak bisa
tidur karena alasnya sempit”.
Aku selalu suka dengan anak-anak. Dari kepolosan
mereka, aku banyak belajar bagaimana mengungkapkan kejujuran tanpa merasa takut
tersakiti. Hakikatnya jujur itu menyenangkan, yang tak siap menerima
kenyataanlah yang menganggap jujur kadang menyakitkan.